Sabtu, 24 Maret 2012

PERKEMBANGAN ETIKA BISNIS TIONGHOA

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono,MM,MBA *

Etika Bisnis di Cina

 Pertama-tama, saya meninjau secara singkat kemunculan dan perkembangan dari etika bisnis, yang mengikuti tiga tahapan (1978-1984; 1984-1994; 1994 – saat ini) dan didorong oleh empat factor: warisan etika tradisional Cina; pengaruh dari  etika dan filosofi Marxisme; cerminan reformasi ekonomi; dan pengaruh etika  bisnis dari luar negeri. Kemudian, dari pandangan praktis dan teoritis, saya membahas tentang tantangan-tantangan utama bagi etika bisnis di Cina: permasalahan  di bidang sistem ekonomi, etika korporasi, dan manajemen. Setelah member komentar terhadap peranan etika bisnis dalam perkembangan sosial di Cina, saya menawarkan pemikiran tentang apa yang bisa dikontribusikan oleh Cina untuk, dan belajar dari, orang-orang lain. Lebih lanjut menghubungan etika bisnis Cina dengan etika bisnis etnis Tionghoa di beberapa Negara Macan Asia ( Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong ) dan tak lepas juga mencari benang merah Etika bisnis Etnik Tionghoa di  Indonesia. 

1.       Etika Bisnis di Cina:
Perkembangan, karakteristik, dan kecenderungannya

Etika bisnis di Cina telah muncul dan berkembang utamanya sebagai respon terhadap reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap: (1) 1978-1984; (2) 1984-1994; dan (3) 1994 – saat ini. Ada empat faktor yang menentukan proses ini: (1) warisan etika tradisional Cina; (2) pengaruh dari etika dan filosofi Marxisme; (3) cerminan reformasi ekonomi; dan (4) pengaruh etika  bisnis dari luar negeri.

Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya budaya Cina. Ini artinya bahwa pada awalnya, hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis di luar negeri. Adalah etika tradisional Cina, filosofi dan etika Marxisme, dan terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan reformasi yang telah membuat orang-orang memfokuskan perhatian mereka pada hubungan antara bisnis dan etika.  Tiga faktor ini yang telah memainkan peranan mereka dalam semua tahapan. Tetapi di tahap terakhir, faktor keempat yang adalah riset dan studi yang dilakukan di luar negeri, muncul dan bekerja dengan tiga faktor lainnya. Selama tiga tahapan tadi, orang-orang telah menjadi lebih memperhatikan hubungan antara bisnis dan moralitas. Banyak diskusi telah dikembangkan, diperluas, dan dilanjutkan hingga saat ini. Dari diskusi-diskusi inilah etika bisnis di Cina muncul.

1.1   Tahap 1978-1984: Hubungan antara moralitas dan ekonomi pada level filosofis, dan etika profesi

Karena pergumulan kelompok adalah aktifitas utama sebelum 1978, aktifitas ekonomi bukanlah poin penting dalam pemerintahan ataupun perhatian sentral bagi masyarakat pada waktu itu. Etika bisnis sebagai satu disiplin ilmu tidak pernah didengar, apalagi dimunculkan. Etika tradisional dan etika barat dikecualikan dan ditempatkan dibawah label “feudalism, kapilatisme, dan revolusionisme.” Yang bertahan hanyalah satu bentuk menyimpang dari Marxisme yang hanya member tekanan pada moralitas kelompok. Titik baliknya adalah pada tahun 1978 dimana fokus perhatian berpindah ke aktifitas ekonomi, dan reformasi ekonomi pun dimulai. Suatu ekonomi yang tidak terlalu direncakan secara sentral diperkenalkan. Sistem tanggung jawab kontrak dengan pembayaran yang terhubung ke hasil dan diversifikasi ekonomi terjadi di bidang pertanian. Petani memperoleh kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam manajemen. Empat Zona Ekonomi Spesial (ZES) dibuka di empat provinsi dari Guangdong dan Fujian. Invidu atau bisnis pribadi diijinkan untuk melengkapi ekonomi kepemilikan-publik di seluruh negeri.

Sementara itu, perubahan ideologi juga terjadi. Di tahun 1979, Departemen Pendidikan memandatkan etika diajarkan sebagai mata kuliah formal oleh departemen filsafat di universitas-universitas. Di tahun 1980, Komunitas Nasional Untuk Studi Etika didirikan. Di tahun 1981, “Lima Penekanan dan Empat Titik Keindahan” diambil sebagai karakterisasi dari moralitas public: penekanan dalam hal kepantasan sosial, tata krama, disiplin, dan moralitas; dan keindahan pikiran, bahasa, perilaku, dan lingkungan. Di tahun 1982, Moralitas dan Peradaban periodik memicu berjalannya studi etika di jalan yang benar. Karya-karya di bidang etika, edisi-edisi baru dari karya Cina klasik dan terjemahan dari karya-karya asing di bidang etika dipublikasikan secara berkelanjutan. Pada tahap “membawa keteraturan kedalam kekacauan, dan membuat yang salah menjadi benar” ini, hubungan antara bisnis dan etika hanya dibahas sebatas level filsafat dan etika profesional: hubungan antara ekonomi dengan moralitas dan dampak yang dibawa mereka; studi dan pendidikan mengenai moralitas profesional dalam perdagangan, perpajakan, urusan finansial, akuntansi, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi dunia bisnis, tahapan “membawa keteraturan kedalam kekacauan” memulai penetapan peraturan moral dan norma-norma untuk pekerja. Meskipun pada tahap ini belum ada konsep mengenai etika bisnis, keadaan telah diatur sedemikian rupa supaya etika bisnis akan dapat berkembang nantinya: satu hal yang menjadi perhatian utama masyarakat dalam kehidupan bisnis dan ekonomi, orientasi studi etika terhadap aktifitas ekonomi, ditentukannya norma-norma moral dalam berbagai profesi, meningkatnya kepentingan moral ketimbang standar politik di masyarakat, perusahaan, dan individu, dan semakin menjauh dari ketidakpedulian tentang nilai-nilai kemasyarakatan dan moralitas yang ada sebelumnya. Semua faktor tersebut membantu berkembangnya etika bisnis menuju tahap berikutnya.

1.2   Tahap 1984-1994: Etika di bidang ekonomi, bisnis, dan manajemen

Ketika “Keputusan Mengenai Reformasi Sistem Ekonomi” dikeluarkan di tahun 1984, reformasi ekonomi memasuki babak baru. Reformasi tersebut berkembang dari daerah pinggiran hingga ke kota-kota besar; mulai di bidang pertanian hingga di bidang industri, perdagangan, dan bidang-bidang ekonomi lainnya. Secara teoritis, hal ini merubah ekonomi dari keadaan ekonomi-yang-direncanakan menjadi komoditi-yang-direncanakan. Sebagai tambahan terhadap dijadikannya Hainan sebagai satu ZES baru, ada empat belas kota lain yang menjadi Kota Pantai Terbuka (KPT). Jika ekonomi yang ada pada awalnya adalah ekonomi yang direncanakan secara longgar, ekonomi di tahap kedua ini adalah ekonomi dengan komiditas terbatas. Dunia filsafat, etika, dan ekonomi telah meninggalkan tahapan “membuat yang salah menjadi benar” dan memulai studi atas permasalahan-permasalahan baru di bidang praktek reformasi. Di bawah slogan “Memperkuat konstruksi dari peradaban spiritual sosialis,” diskusi tentang bisnis dan etika bergeser menjadi lebih condong ke pendekatan yang berorientasi kepada permasalahan. Topic-topik berikut ini didiskusikan: perkembangan komoditas dan moral; reformasi ekonomi dan pergeseran moral; reformasi ekonomi dan perkembangan moral; reformasi ekonomi dan etika-etika tradisional; etika dan modernisasi; peradaban jasmani dan peradaban spiritual; ekonomi komoditas dan pendidikan moral; struktur ekonomi dan struktur moral di jaman sekarang; tantangan yang dihadapi ekonomi komoditas dan cara yang bermoral untuk menghadapinya; peraturan ekonomi dan peraturan moral; perubahan-perubahan yang minat grup-grup yang berbeda-beda; ketidak adilan dalam distribusi sosial. Topik-topik tersebut sering diprovokasi oleh permasalahan mendesak yang dibawa oleh perubahan dan kemudian didekati beragam disiplin ilmu (selain ilmu filsafat). Pembagian menurut tenaga kerja dan atau moralitas; manajemen dan etika; dan lain sebagainya. Publikasi yang berkenaan dengan hal tersebut antara lain Etika dalam Manajemen (Weng, 1988); Etika dalam Bisnis (Liu, 1994); Isu Etika di bidang Ekonomi (Li, 1995). Meskipun etika bisnis merupakan satu disiplin ilmu baru yang masih belum berkembang, lapangan studi etika bisnis sebenarnya telah ditinjau dari sudut pandang etis secara sangat menyeluruh yang mencakup semua aktifitas bisnis dan ekonomi: ekonomi, bisnis, dan manajemen.

1.3   Tahap 1994 hingga sekarang: Etika Bisnis

Pada tahun 1994, reformasi memasuki tahap ketiga, yang terjadi saat ini, yaitu tahap “Menetapkan ekonomi pasar sosialis.” Sistem ekonomi dengan perencanaan tersentralisasi yang didukung kepemilikan publik tunggal dan kesatuan kepemilikan dan manajemen dirubah menjadi sistem ekonomi pasar desentralisasi dengan kepemilikan yang beragam serta pemisahan antara kepemilikan dan manajemen. Perubahan-perubahan penting umumnya terjadi di badan usaha milik Negara: badan usaha berubah menjadi badan hukum; mereka memiliki kewajiban untuk menjamin dan meningkatkan modal dari investor; dan Negara memiliki hak dan keuntungan menurut modal investasinya. Badan-badan usaha ukuran besar atau sedang yang dulunya dimiliki oleh Negara telah berubah menjadi tiga jenis: perusahaan dengan investasi Negara yang bersifat ekslusif; Perseroan Terbatas; dan perusahaan induk. Sedangkan perusahaan pemerintah berukuran kecil telah berubah menjadi banyak jenis: manajemen kontrak; perusahaan modal gabungan; atau perusahaan yang dilelang kepada individu maupun kolektif. Bukan hanya para ekonom, filsuf, dan pengusaha yang berpartisipasi dalam diskusi mengenai permasalahan-permasalahan mengenai reformasi ini, melainkan juga para pengacara dan awak media. Tahapan ini bisa dikategorikan sebagai tahap legalisasi  dimana banyak peraturan hukum dibuat dan disahkan. Contohnya, hukum ketenaga kerjaan pertama di Cina! Yaitu Hukum Tenaga Kerja yang dikeluarkan pada tahun 1995. Terlebih lagi, media memainkan perananan yang semakin besar. Beragam permasalahan, seperti misalnya permasalahan mengenai kualitas produk dan polusi lingkungan yang semakin dicemaskan banyak orang, dan sering didiskusikan baik di surat kabar maupun televisi. Hal ini tentunya akan terus semakin membakar minat publik di bidang etika bisnis menjadi semakin membara.

Sementara itu, reformasi juga diprovokasi oleh minat dari akademisi asing. Sebagai contohnya, kontribusi dari Dr. Tom Sorrel di tahun 1994 (Sorrel et al., 1994), Universitas Essex., dan Dr. Georges Enderle (Enderle, 1993 dan 1994), Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat.

1.4   Stimulus Etika Bisnis

Diantara empat stimulus bagi etika bisnis di hampir dua puluh tahun terakhir, kekuatan pendorong perubahan atau reformasi ekonomi merupakan stimulus yang paling kuat. Tujuan ekonomi yang terbagi, peraturan hukum bisnis baru, peningkatan jumlah pengangguran, masalah serius di bidang lingkungan, dan lain-lain; semuanya membutuhkan diskusi etika, baik bagi mereka yang setuju akan perubahan maupun yang tidak setuju. Selain faktor ini dan pengaruh etika bisnis asing, warisan etika tradisional Cina serta pengaruh filsafat dan etika Marxisme juga perlu ditambahkan.

Di etika tradisional Cina, hubungan antara “Yi” dan “Li” merupakan satu topic lama yang berulang-ulang muncul. “Li” artinya keuntungan atau laba, dan “Yi” merujuk pada prinsip atau norma dalam mendapat dan membagi keuntungan atau laba. Jadi “Yi” sebagai inti atau dasar pemikiran dalam etika tradisional Cina memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan “Li” (Cheng, 1993). Hubungan antara keduanya terlihat dalam pandangan yang mengakar dalam pada Confusius: “Seseorang dengan karakter mulia dapat memahami Yi, tapi seseorang yang dangkal pemikirannya hanya mengenal Li.” Meskipun penganut pandangan Confusius tidak sepenuhnya menentang “Li” dan bermaksud menempatkan “Yi” kedalam “Li” atau untuk mencapai “Li” dengan cara yang bermoral (yang adalah “Yi”), mereka lebih memperhatikan “Yi” ketimbang “Li”. Masyarakat Cina tidak terbiasa, dan bahkan malu, untuk membicarakan “Li.” Dengan berdasar pada “Yi” dan “Li”, dua topik lain pun dikembangkan: “Qun” (kolektif) dan “Ji” (diri sendiri), dan “Li” (alasan) dan “Yu” (hasrat) (Zhang, 1989). Meskipun begitu, dalam berjalannya reformasi ekonomi,  konsep-konsep dasar dan lama mengenai “Yi” dan “Li”, serta “Qun” dan “Ji” dan “Li” dan “Yu”, sekali lagi menjadi topik yang hangat. Hubungan antara “Yi” dan “Li” menjadi pertanyaan sentral dari bisnis dan etika; konsepnya yang sangat berhubungan mempertanyakan “efisiensi” dan “keadilan.” “Hasrat jasmani” dan “persyaratan ideal moral atau spiritual.” Terlebih lagi, topik-topik ini telah berevolusi menjadi beragam permasalahan baik pada level praktek maupun teori. Tentunya lebih dari filsafat dan etika sebelumnya, mereka akan menjadi karakter di bidang etika bisnis.

Pemahaman atas pandangan Marxisme di Cina selalu menitik beratkan pada perubahan moral sejalan dengan perubahan ekonomi, moralitas komunis, karya ideologis, dan peradaban spiritual. Semua penekanan ini memperkuat kecenderungan kepada nilai Yi ketimbang Li, dan menunjukkan dimensi moral pada perubahan atau reformasi ekonomi yang terjadi. Di sisi lain, kecenderungan ini membantu menjaga kesatuan antara “bisnis” dan “etika”; di pihak lain, reformasi atau perubahan itu sendiri menantang pandangan ini dan merangsang masyarakat untuk menggabungkan Yi dan Li pada kondisi pasar yang baru.

1.5   Usaha untuk melembagakan etika bisnis

Pada bulan Februari 1994, Asosiasi Budaya dari Perusahaan  Shanghai dibentuk. Sekarang organisasi tersebut telah memiliki 160 anggota, 80 diantaranya merupakan enterprener. Enterprener ternama, Huang Guancong, adalah presiden pertama organisasi ini. Universitas Fudan mendirikan Pusat Etika Terapan yang memiliki departemen Etika Bisnis di dalamnya. Universitas Bisnis dan Keuangan Cina Selatan juga mendirikan Institut Etika Bisnis.

Fakultas Business Administration Universitas Sudan dan Sekolah Bisnis Internasional Cina-Eropa di Shanghai menawarkan kelas-kelas etika bisnis untuk para mahasiswanya, baik S-1 dan Paska Sarjana. Lebih lanjut, “Program Riset Ilmu Pengetahuan Sosial” yang didanai pemerintah pusat menjadi sarana pendukung finansial bagi studi di bidang etika bisnis; contohnya Institut Etika Bisnis yang menerima dana bantuan untuk risetnya yang bertajuk “Proposal Studi Etika Bisnis selama Periode Sosialis”.

Pertukaran diantara akademisi, diantara akademia dan dunia usaha, dan diantara pelajar Cina dan pelajar asing pada level nasional dan internasional semakin meningkat. Di bulan Oktober 1993, pertemuan yang membahas “Pandangan Sino-Jepang terhadap Etika Praktis” diselenggarakan di Hunan. Di bulan November 1994, Institut Filsafat dari Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Shanghai dan Perusahaan Dongfeng Shanghai menyelenggarakan pertemuan yang membahas etika bisnis bagi akademisi dan orang-orang yang bergelut di dunia bisnis yang lebih lanjut membahas isu-isu yang diantaranya: Apakah warga Cina memang membutuhkan etika bisnis? Apakah yang menjadi isu penting untuk etika bisnis di Cina? Apakah hubungan antara etika bisnis dan perkembangan sosial di Cina? Pada bulan Mei 1995, Pusat Etika Terapan di Universitas Fudan dan Asosiasi Budaya dari Perusahaan  Shanghai mengadakan seminar tentang ide-ide moral di bidang manajemen, peranan moralitas dalam pembuatan keputusan dan manajemen di bawah kondisi pasar, serta status moral dari bisnis-bisnis yang ada. Pada musim semi tahun 1995, Pusat Etika Terapan Universitas Fudan melakukan studi empiris tentang persepsi etika kalangan bisnis di Cina Timur (Wu, 1996). Di bulan Oktober 1996, Konferensi Anti-Korupsi Internasional yang Ketujuh diselenggarakan di Beijing. Pada “Simposium Etika Praktis Sino-Jepang yang Kesembilan” etika bisnis dan hubungannya dengan etika keluarga, etika manajemen, dan etika lingkungan juga dibahas. Pada musim panas tahun 1996, Dewan Riset mengenai Nilai dan Filsafat serta Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Cina bersama menyelenggarakan seminar tentang “Etika Ekonomi Amerika dan Cina”, sedang pada bulan April 1997, “Konferensi Internasional Etika Bisnis Beijing 1997” yang mengumpulkan kurang lebih 150 peserta dari bidang bisnis dan akademis diselenggarakan dibawah arahan dari Institut Filsafat di Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Cina.

Sedangkan tentang publikasi yang dikeluarkan pada dua tahun terakhir, beberapa artikel mengenai perkembangan etika bisnis di Barat (Lu, 1994) muncul bersamaan dengan beberapa terjemahan dari artikel mengenai etika bisnis dunia barat, begitu juga beberapa usaha untuk mengembangkan kerangka etika bisnis berdasarkan sudut pandang Cina (Wang, 1994) telah dilakukan.

2.       Tantangan-tantangan utama terhadap etika bisnis di Cina

2. 1. Permasalahan Utama dalam praktik etika bisnis

2.1.1          Permasalahan sistem ekonomi
Karena reformasi utamanya hanya dalam hal sistem ekonomi, sebagian besar dari permasalahan etis  yang berhubungan pada tingkat sistemik, beberapa diantaranya sangat penting.

Mempertegas peranan pasar sambil terus menjaga peran penting pemerintah di bidang ekonomi. Proses reformasi memerlukan dikuranginya peranan pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi, dan memperkuat pengaturan pasar ekonomi. Namun, karena pemerintah adalah perwakilan dari kekayaan milik Negara, pemerintah seharusnya menjalankan perannya dengan jalan mengambil tanggung jawab manajerial di perusahaan-perusahaan milik Negara ketimbang hanya sekedar mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Terlebih lagi, karena pemerintah adalah target sekaligus pemimpin dari reformasi, maka ia memiliki kesulitan dalam hal bagaimana menghadapi pasar – dan segala permasalahannya yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan.

Menjaga posisi dominan atas hak milik publik sambil tetap memastikan adanya persaingan yang adil. Sebagaimana yang diperlukan pasar, perlu ada diversifikasi kepemilikan. Beragam tipe kepemilikan dapat hidup berdampingan dan berkembang bersama dalam kondisi dimana ada persaingan yang adil. Tetapi, bagaimanapun juga reformasi ditujukan untuk menjaga posisi dominan atas hak milik publik. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana posisi yang dominan dapat dijaga sementara persaingan yang adil dengan segala tipe kepemilikan lainnya bisa dipastikan ada? Bagaimana jalan agar manfaat dari hak-milik-negara dapat ditampilkan sementara persaingan yang adil tetap dijaga dan pihak penguasa administratif tidak menyalahgunakan hak milik tersebut untuk mendesak posisinya yang dominan? Tidak diragukan lagi, ini adalah hal yang sangat sulit.

Membuka pasar tenaga kerja sementara menjunjung tinggi peran utama tenaga kerja terhadap Negara. Dalam proses perubahan sistem ketenagakerjaan dan pembukaan pasar tenaga kerja, ada sekitar seratus juta pengangguran di daerah pedesaan, dan kurang lebih sepuluh juta di perkotaan. Bila perusahaan-perusahaan terus memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja di perkotaan, maka reformasi di perusahaan akan gagal, dan perusahaan yang baru tidak mampu untuk menanggung beban yang berat seperti itu. Lebih lanjut, lebih mudah bagi tenaga kerja dari pedesaan untuk menemukan pekerjaan di kota, karena mereka mau menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja dari perkotaan. Contohnya, pada tahun 1996 Shanghai memiliki dua juta tenaga kerja pengangguran, tetapi dua juta enam puluh ribu pekerjaan ditawarkan kepada tenaga kerja non-lokal.

Memungkinkan beberapa orang dan daerah untuk menjadi lebih kaya dari yang lainnya sambil tetap berbagi kesejahteraan yang setara. Kebanyakan orang berpikir bahwa mengijinkan beberapa orang atau daerah untuk menjadi lebih kaya dari yang lain adalah bukan hal yang salah. Tetapi, mereka sebenarnya peduli tentang siapa yang menjadi kaya, dan dengan jalan apa. Terlebih, apa hubungan yang lebih kaya dengan yang lainnya? Kenapa dan bagaimana masyarakat Cina mencapai tujuan kesejahteraan setara? Apakah membantu yang miskin berarti sama dengan membantu yang terbelakang? Kenapa dan bagaimana orang-orang yang menjadi kaya pertama-tama memberikan kontribusi kepada kesejahteraan yang setara? Apakah yang dimaksud dengan pembagian pemasukan dan kekayaan yang tidak adil, tidak hanya dari segi hukum melainkan juga dari sudut pandang etika? Apakah kaum cendekia dan pejabat pemerintah di jaman Cina kontemporer yang diperlakukan paling tidak adil? Haruskah pemerintah ikut campur dalam hal pembagian, dan menurut kriteria etika yang mana?

Mengadakan sistem jaminan sosial yang adil. Dalam sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat, masyarakat mendapatkan pekerjaan, upah, dan jaminan sosial sekali dan berlaku selamanya. Tetapi sekarang keadaan sudah berubah, pihak yang mempekerjakan dapat memberhentikan pekerjanya; perbedaan upah menjadi lebih kentara; jaminan sosial harus dibagi antara Negara, perusahaan, dan induvidu. Apakah yang dibutuhkan oleh keadilan untuk membagi semua beban ini?

Mencegah pengekonomisasian masyarakat. Dalam lingkup apakah pasar semestinya beroperasi? Dalam lingkup apa sajakah pasar semestinya dikecualikan? Apakah benar untuk berkata, “segalanya adalah demi uang”, ataukah pernyataan ini hanya benar dan berlaku bagi pasar saja? Apakah bekerja di lapangan seperti seni, rumah sakit, dan media berarti sama dengan bekerja di perusahaan yang beroperasi di pasar? Kalau tidak, bagaimana mereka mempertanggung jawabkan keuntungan dan kerugian mereka?

Perkembangan ekonomi berjalan harmonis dengan perkembangan sosial. Sejak tahun 1978, ekonomi domestic Cina telah sangat berkembang. Namun, perkembangan di bidang politik dan budaya tidak berjalan dalam kecepatan yang setara. Jadi sekarang panggilan untuk perkembangan sosial yang harmonis mulai didengar. Tetapi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan “perkembangan sosial yang harmonis”? Apakah masyarakat yang secara alami telah bertumbuh berdasarkan pasar adalah harmonis? Jika tidak, apa yang akan kita jadikan patokan untuk mengenali harmoni itu sendiri? Bagaimana kita bisa menghubungkan perkembangan di bidang politik dan budaya tanpa membahayakan kondisi lingkungan, prasarana, serta ekologi sambil tetap mengembangkan ekonomi? Bagaimana kita bisa terus mengejar tujuan modernisasi tanpa melakukan kesalahan yang sama dengan yang telah dilakukan Negara-negara maju sebelumnya?

Seperti yang telah disebutkan di bagian pertama, topik sentral dari etika bisnis adalah hubungan antara “Yi” dan “Li”, atau antara bisnis dan etika. Topik ini dimanifestasikan sebagai masalah keadilan dan efisiensi pada level sistemik. Apa yang diangkat topik-topik diatas adalah apakah yang perlu dibangun adalah suatu sistem yang merupakan kesatuan dari efisiensi dan keadilan, atau sistem yang merupakan kesatuan antara fungsi dan moralitas. Juga bagaimana cara melaksanakannya. Menurut pandangan saya, adalah tugas dari etika sistem untuk membantu supaya sistem tersebut tadi dapat dicapai.

2.1.2          Permasalahan etika korporasi
Dekade 1990-an menjadi saksi banyaknya korporasi yang bermunculan di daratan Cina. Dengan cepat, masalah etika korporasi akan menjadi pokok dari etika bisnis di Cina, terutama permasalahan di perusahaan milik Negara berukuran besar dan sedang.

Pemisahan antara perusahaan dan pemerintah. Yang dulunya dikenal sebagai Biro-Biro Industri telah diganti dengan grup perusahaan-perusahaan induk, dan komite pengurus kekayaan milik Negara pun telah dibentuk. Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan perusahaan dari pemerintah untuk memperjelas hak milik atas kekayaan untuk membangun satu struktur ekonomi yang berdiversifikasi. Namun, ada pepatah yang mengatakan, “mengganti biro dengan komite itu sama seperti ibu mertua menjadi ibu sendiri”. Tanggung jawab dari komite adalah untuk menjamin dan meningkatkan kekayaan Negara, tetapi apakah yang menjadi hak dari komite? Dan bagaimana mereka semestinya menggunakan hak tersebut? Hubungan seperti apakah yang pantas ada antara komite dengan perusahaan? Apakah perusahaan merupakan agen independen? Apakah yang menjadi tanggung jawab secara etika yang mesti diketahui dan dilakukan oleh perusahaan? Masalah-masalah inilah yang tidak hanya bersifat ekonomi, namun juga bersifat etika.

Tanggung jawab sosial. Perusahaan-perusahaan milik Negara sudah menjadi suatu bentuk masyarakat tersendiri. Atas nama pemerintah, mereka telah terbiasa – hingga sampai saat ini – untuk menanggung beban tanggung jawab bagi semua anggotanya, mulai dari perumahan dan pelayanan pengobatan hingga sampai pembayaran pension. Contohnya, di satu perusahaan kaca, diantara 6000 orang anggotanya, ada 3000 pensiunan pekerja yang biaya pengobatannya mencapai dua juta Yuan per tahunnya (selain berbagai biaya lainnya untuk keperluan mereka, seperti biaya transport, perumahan, dana pension, dll). Dengan beban yang berat seperti itu, bagaimana perusahaan-perusahaan ini dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang beda kepemilikannya?

Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan. Polusi lingkungan merupakan satu masalah yang serius. Dan masih ada beberapa firma bisnis dan pengusaha yang tidak menyadari tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Meskipun beberapa memang sudah menyadari tanggung jawabnya, namun mereka kekurangan dana untuk merekonstruksi bisnis mereka untuk menjadi ramah lingkungan. Melalui beberapa peraturan hukum yang berhubungan dengan masalah ini yang telah dikeluarkan baru-baru ini, mulai lebih banyak orang menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah ini; tetapi bagaimanapunnjuga, masih banyak yang perlu dilakukan baik oleh instansi-instansi bisnis  maupun pemerintah sehubungan dengan masalah ini.

Banyak permasalahan etika yang membingungkan memusingkan para pengusaha. Akan saya sebutkan tiga diantaranya. Yang pertama adalah kualitas produk. Ini menunjukkan kualitas dari perusahaan serta tugas dari pejabat-pejabat pemerintah lokal. Kebanyakan dari perusahan milik Negara berukuran sedang hingga besar menyadari hal ini dan bekerja dengan jujur, meskipun beberapa partner mereka tidak melakukan hal yang sama. Kemudian bagaimana mereka harus bersikap terhadap partner yang berlaku seperti itu? Apakah yang menjadi tanggung jawab pemerintah lokal pada situasi seperti ini? Bagaimanakan hal ini mengembangkan ekonomi lokal dari aspek hukum? Yang kedua adalah hutang segitiga. Untuk menduduki pasar-pasar tertentu, beberapa perusahaan – di  luar kemauan mereka – berhutang dalam jumlah yang sangat besar. Untuk kasus ini, mereka lebih memprioritaskan efisiensi ketimbang pertimbangan moral. Apakah mereka dapat dibenarkan? Dan jika tidak benar, jadi apa yang seharusnya mereka lakukan? Yang ketiga adalah berikut ini: Pada situasi yang sulit, haruskan mereka menolong partner mereka? Biasanya mereka akan menjawab “ya”. Tetapi, haruskah mereka melakukannya di dalam situasi dimana bantuan ini – yang akan mereka berikan – akan menguntungkan perusahaan mereka sendiri, yang artinya mementingkan pegawai dan pemegang saham mereka? Perkembangan sistem korporasi kontemporer membawa peningkatan jumlah masalah di level perusahaan meskipun beberapa diantaranya selalu membawa hubungan dengan peraturan dari sistem ekonomi.

2.1.3          Permasalahan etika dari manajemen
Sejumlah besar permasalahan muncul pada tahap ini: perlakuan berbeda dari pegawai yang berbeda; manajer umum (general manager) melawan manajer-manajer / kepala-kepala bagian; tenaga kerja lokal dan non-lokal; hubungan antara pria dan wanita; mempertahankan integritas pribadi di dalam pasar yang kompetitif; dilema di antara “etika yang baik” dan “bisnis yang baik”; karirisme, dll.

2.1.4          Permasalahan Hubungan Bisnis Internasional
Kebijakan “Pintu Terbuka” bertujuan untuk memelihara investasi asing. Namun, kebijakan tersebut melibatkan hal-hal yang semestinya dipahami oleh kedua belah pihak, baik masyarakat Cina maupun asing (sebagai contoh, pengamatan yang menarik bisa ditemukan di De George, 1993, chapter 8).

Mendukung perusahaan asing sambil terus mengembangkan industri nasional Cina sendiri. Apakah perusahaan asing mesti didorong untuk menduduki pasar yang sebelumnya dipegang oleh perusahaan-perusahaan nasional Cina? Apakah memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan asing sementara perusahaan nasional tidak menerima perlakuan yang sama adalah hal yang baik dan adil? Jika ya, bagaimana perusahaan-perusahaan Cina  dapat bersaing dengan perusahaan asing, dengan menilik fakta bahwa teknologi dan kemampuan manajemen mereka sering tertinggal dibelakang perusahaan asing?

Mencari teknologi modern dan bersaing dengan bisnis internasional. Kadang terjadi, beberapa investor asing memasok teknologi yang tidak terlalu modern, atau bahkan teknologi yang sudah ketinggalan jaman; mereka menggantikan yang lama dengan yang baru, yang jelek dengan yang bagus dan harga-rendah dengan harga-tinggi. Menurut criteria apakah Cina semestinya memisahkan antara yang investasi asing yang “baik” dan “buruk”?

Mencari modal asing dan perlindungan tenaga kerja. Kebanyakan dari permasalahan etika yang serius dan mendesak disebabkan antara lain oleh kondisi ketenaga kerjaan yang buruk dan tidak dapat diterima, pekerjaan yang intens dengan bayaran rendah, dan penghinaan terhadap pekerja. Meskipun telah ada Hukum Ketenaga Kerjaan yang mencakup peraturan-peraturan tentang perlindungan tenaga kerja, beberapa pejabat pemerintah hanya sekedar mencari investor asing tanpa memperhatikan peraturan-peraturan ketenaga kerjaan yang sudah ada tadi. Oleh karenanya, timbul pertanyaan: apakah modal asing lebih berharga dibanding pertimbangan moral masyarakat?  Bagaimana dengan kewajiban pejabat pemerintah untuk tunduk terhadap peraturan yang berlaku? Yang manakah yang termasuk kejahatan yang lebih kecil: Perlakuan yang buruk terhadap pekerja, atau tidak ada pekerjaan sama sekali?

Merekonsiliasi persaingan antara perusahaan Cina dan kebudayaan Cina kolektif. Sayangnya, pengamatan seorang penulis Barat yang tertulis berikut adalah benar adanya: “Di satu sisi, perusahaan-perusahaan Cina melihat satu sama lain sebagai musuh, karena mereka berbagi pasar yang sama; ini adalah satu permainan ‘zero-sum’ dimana keuntungan yang didapat satu pihak berarti kehilangan bagi pihak yang satunya. Di sisi lain, kebudayaan kolektif mendesak mereka untuk membangun hubungan yang dapat diperpanjang ke kompetitornya.” Atau seperti yang disebut oleh orang Cina, “Jadi investor ‘banteng’ yang optimis dan memprediksikan kenaikan pasar, dan saling bunuh!” Contohnya, ada lebih dari 1000 perusahaan Cina yang mengekspor sepatu ke luar negeri. Karena ada desentralisasi, setiap perusahaan mempunyai hak untuk mengekspor produknya, dan setiap perusahaan bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian mereka. Oleh karena itulah ada kompetisi ganas diantara mereka, dan mereka mesti menjawab tantangan itu. Bagaimana mereka mendamaikan tanggung jawab mereka terhadap perusahaan dan terhadap Negara? Meskipun mereka memiliki sedikit pengalaman tentang cara-cara barat kontemporer untuk berbisnis, mereka tetap perlu mempelajari dan mempertimbangkan praktek-praktek baru ini ketika mereka memasuki pasar internasional.

Semua permasalahan dan tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh kaum pebisnis Cina, tetapi juga oleh para akademisi yang semestinya memeriksa dan mempelajarinya secara mendalah dan mengambil langkah lebih jauh dari sekedar mendiskusikan perubahan pasar dalam konteks umum.

2.2   Permasalahan teoritis dari etika bisnis
 Tantangan sentral bagi etika bisnis di Cina adalah untuk mengembangkan satu teori yang memiliki relevansi tinggi yang membantu menganalisa serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi para pelaku ekonomi pada level sistemik, organisasional, dan individual. Dalam lapangan etika bisnis yang baru muncul ini, seseorang dapat membedakan permasalahan-permasalahan dan pendekatan-pendekatan yang beragam yang masih jauh dari pembentukan atas satu badan pengetahuan yang koheren. Ada beberapa pertanyaan yang sangat penting:

Argumen tentang etika bisnis sebagai satu disiplin ilmu.  Apakah etika bisnis itu? Semacam etika terapan? Satu pendekatan interdisipliner?

Kerangka etika bisnis. Menurut criteria apakah etika bisnis semestinya dibentuk? Apakah menurut lima aktifitas kerja; manajemen, produksi, sirkulasi, distribusi, dan konsumsi? Ataukah menurut level-level yang beragam dari tindakan manusia: sistemik (makro), organisasional (meso), atau individual (mikro)?

Kekuatan pendorong etika bisnis. Mengapa kaum pebisnis mesti berlaku menurut etika? Apa yang menjadi kekuatan pendorong dari praktik etika?

Argument yang mendukung dan menentang ekonomi pasar. Apakah ekonomi pasar dapat dibenarkan? Haruskah ekonomi pasar dibenarkan dan terus dikejar? Kondisi etis, legal, dan ekonomis seperti apakah yang diperlukan oleh ekonomi pasar?

Prinsip-prinsip moral dalam bisnis. Perlukah moralitas komunis digantikan dengan moralitas utilitarianisme? Perlukah utilitarianisme dan altruisme digabungkan? Bagaimana dengan egoisme?

Norma-norma etika bisnis. Apakah spesifikasi dari norma etika bisnis dibandingkan dengan norma etika “murni” dan jenis-jenis lain dari etika terapan?
Apakah layak untuk dikatakan bahwa ada suatu konsensus sehubungan dengan isu-isu berikut:
-          Ekonomi pasar mendesak pengaruh positif dan negative terhadap hal-hal lain, wilayah non-ekonomis dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
-          Reformasi sistem ekonomi semestinya bertujuan untuk mengurangi kekuasaan pejabat-pejabat pemerintah untuk campur tangan di perusahaan-perusahaan, dan reformasi juga semestinya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pejabat-pejabat pemerintah kepada perusahaan.
-          Perkembangan ekonomi seharusnya berjalan harmonis dengan perkembangan sosial, yang membutuhkan regulasi-makro (cf. diskusi bermutu di Liu, 1993).
-          Prinsip-prinsip berikut seharusnya menjadi pedoman dalam mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan sosial: meningkatkan kekuatan produktif, meningkatkan kekuatan nasional yang telah dipersatukan, dan membawa keuntungan kepada kehidupan masyarakat.
-          Perbedaan dalam distribusi pendapatan diantara anggota masyarakat seharusnya disadari; efisiensi harus dipelihara; perkembangan ekonomi harus membawa keadilan dan kesejahteraan umum.

3.       Etika bisnis dan perkembangan sosial di Cina

Ada pepatah yang berkata bahwa abad ke 21 akan menjadi sebagai abad milik Cina (Wong, 1995). Namun, saya kira seharusnya tidak ada abad yang khusus menjadi milik masyarakat tertentu. Supaya yakin, pencapaian Cina di abad berikutnya akan sangat bergantung kepada keputusan-keputusan yang diambilnya saat ini. Masih ada banyak masalah serius di Cina, seperti yang ditunjukkan oleh Kenneth Lieberthal (Lieberthal, 1995): Inflasi, korupsi, migrasi ke kota-kota besar, perbedaan kekayaan yang semakin meningkat, jumlah pengangguran yang besar, dan besarnya dampak sosial dari proyek konstruksi urban besar-besaran adalah sedikit diantaranya. Masalah-masalah ini memerlukan solusi yang adil dan berkelanjutan, yang tidak dapat diperoleh hanya melalui cara-cara ekonomi. Jadi etika bisnis diperlukan untuk membangun Cina yang stabil dan maju.

Etika bisnis di Cina harus memiliki fokus yang kuat kepada reformasi sistem ekonomi yang menggabungkan efisiensi dan keadilan. Lebih lanjut, karena perusahaan adalah unit dasar dari produksi dan mereka menjadi pelaku ekonomi independen, etika korporasi pun menjadi penting.

Pelaksana bisnis menghadapi beragam dilema etika sambil terus dipengaruhi oleh etika tradisional Cina. Untuk bisa memahami “Li”, seseorang mesti mempertimbangkan “Yi”. Tetapi, pedoman umum ini sangat memerlukan spesifikasi dan penjelasan yang seharusnya disediakan oleh studi etika bisnis.

Etika bisnis adalah lapangan dimana etika yang baru sedang dalam proses pembuatan. Perubahan-perubahan dramatis dari ekonomi yang terencana secara sentral menjadi ekonomi pasar melibatkan perubahan kultural yang radikal dan juga perubahan terhadap etika. Beberapa ide lama mengenai etika-etika atau norma-norma mulai digantikan dengan yang baru. Semua perubahan ini akan berlangsung lama dan mempengaruhi keseluruhan budaya etika Cina (Liao, 1995).

Karena bisnis di Cina semakin terjalin dan terhubung dengan bisnis internasional, ia memerlukan satu bahasa internasional umum. Ini nantinya akan meningkatkan pemahaman terhadap pandangan-pandangan politik dan masyarakat yang berbeda serta membantu perkembangan sosial di Cina.

4.       Pertukaran ide dan pengalaman dengan Negara lain

Dalam perjalanan menuju perubahan yang beriorientasi kepada pasar, Cina telah memilih “Jalan Berkarakter Cina” miliknya yang membedakannya dari Negara maju, Negara berkembang, dan juga mantan Negara sosialis. Namun, Cina bisa mempelajari banyak hal dari Negara-negara lain, tidak hanya dari pengalaman dan pencapaian mereka di pasar tetapi juga dari pekerjaan mereka di bidang etika bisnis. Dari literatur etika bisnis yang luas, saya hanya dapat menunjukkan secara singkat beberapa isu sebagai berikut:

Menganggap serius dimensi etika dari bisnis. Bisnis bukanlah suatu aktifitas yang netral secara moral. W. Michael Hoffman dan Robert E. Frederick (Hoffman et. al., 1995) menuliskan bahwa, “Memang benar bahwa tujuan dari bisnis adalah laba, tetapi proses mendapatkan laba bukanlah satu aktifitas yang netral secara moral. Menurut tradisi, kita telah mendorong bisnis untuk mengejar laba karena kita yakin bahwa pencarian laba tidak melanggar hak apapun dan merupakan hal yang terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam dua dekade terakhir, muncul keberatan terhadap kepercayaan bahwa bisnis secara keseluruhan memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan umum”. Kami, masyarakat Cina, seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dampak ekonomi pasar terhadap moralitas dan hubungan hubungan timbal balik keduanya. Melainkan juga menguji bisnis itu sendiri dari perspektif etis, contohnya dimensi etika dari bisnis yang tidak datang dari luar, melainkan sesuatu yang bersifat internal, komponen yang bertalian dengan bisnis itu sendiri. Kita seharusnya peduli dengan cara etis untuk mendapat keuntungan, atau cara Yi menuju Li.

Mendefinisikan dan menanggung beragam tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas etika dari bisnis. Setiap pelaku ekonomi memiliki, dan beroperasi dalam, ruangannya sendiri dimana ia membuat keputusan dan mengambil tindakan, yang dibatasi oleh berbagai kondisi. Seseorang tidak semestinya melemparkan tanggung jawabnya kepada pelaku ekonomi lainnya, begitu juga tanggung jawab semestinya tidak disingkirkan dari satu level ke level lainnya. Pertanyaan fundamental yang perlu diajukan bukanlah “Apa yang harus dilakukan oleh individu dan perusahaan lain, serta ekonomi nasional?” melainkan apa yang seharusnya saya pribadi lakukan, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan dan Negara, dimana saya menjadi anggotanya, untuk mengetahui dan melaksanakan kewajiban etis pada level-level perilaku yang berbeda? (Enderle, 1993)

Untuk mempelajari strategi dan metode untuk menganalisa dimensi etis dari pengambilan keputusan dalam bisnis secara kongkrit. Karena permasalahan etika bisnis kebanyakan adalah kongrit dan spesifik, alat untuk menganalisanya perlu dikembangkan untuk bisa mengatasi permasalahan-permasalahan kompleks ini. Satu pendekatan yang merangsang adalah milik Marvin T. Brown Proses Etika (Brown, 1996).

Mengembangkan etika bisnis dengan berdasar kepada budaya tradisional milik Negara sendiri. Literatur etika bisnis menawarkan banyak pendekatan yang menarik, beberapa yang ingin saya sebutkan dengan singkat antara lain: John W. Houck dan Oliver Williams: Nilai-Nilai Penuh (1978); S.K. Chakraborty: Manajemen Menurut Nilai (1991); Ryuzaburo Kaku: Kyosei – Satu Konsep Yang Akan Memimpin Abad ke-21 (1995).

HUKUM PERDATA

A. Pendahuluan  
Artikel pendek ini berisi identifikasi beberapa persoalan krusial yang menurut penulis perlu dicermati dan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang  Nomor  40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Persoalan krusial tersebut adalah (a) batasan atau luas lingkup perseroan yang wajib melaksanakan TJSL (b) sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi TJSL (c) sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak melaksanakan TJSL, dan (d) keterkaitan antara TJSL dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang khusus berlaku untuk perusahaan berupa BUMN. Identifikasi beberapa persoalan di atas disertai dengan analisis singkat dengan memerhatikan isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 tentang permohonan uji formil dan materiil Pasal 74 UU PT terhadap UUD 1945.

B. Definisi dan Luas Lingkup TJSL

Pasal 1 Nomor 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) tampaknya menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai terjemahan dari istilah Corporate Social Responsibility (CSR) untuk konteks perusahaan dalam masyarakat Indonesia, dan mengartikannya sebagai "komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya".

Dalam literatur manajemen perusahaan banyak sekali ditemukan tulisan tentang CSR atau TJSL baik untuk konteks masyarakat Indonesia maupun asing. Pada tingkat paling dasar namun sekaligus sangat luas, CSR dapat dipahami sebagai sebuah relasi atau interkoneksi antara perusahaan dengan para pemangku kepentingan perusahaan tersebut, termasuk misalnya dengan pelanggan, pemasok, kreditur, karyawan, hingga masyarakat khususnya mereka yang berdomisili di wilayah perusahaan tersebut menjalankan aktivitas operasionalnya. Perusahaan bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan operasionalnya mampu menghasilkan barang dan/atau jasa secara ekonomis, efisien, dan bermutu untuk kepuasan pelanggan disamping untuk memperoleh keuntungan. Perusahaan juga berkewajiban untuk mematuhi hukum dan seluruh peraturan perundang-undangan nasional dan daerah yang berlaku di dalam wilayah negara seperti misalnya mematuhi aturan hukum ketenagakerjaan, persaingan usaha yang sehat, perlindungan terhadap konsumen, perpajakan, pelaporan aktivitas perusahaan, dan seterusnya termasuk juga untuk mematuhi hak-hak asasi manusia dan asas pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan.

Konsep CSR atau TJSL memperluas kewajiban perusahaan tersebut dengan kewajiban untuk peduli terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal di mana perusahaan tersebut berdomisili dan/atau menjalankan aktivitas operasionalnya. Kewajiban terakhir ini dapat dilakukan perusahaan melalui berbagai bentuk kegiatan yang idealnya cocok dengan strategi dan business core dari perusahaan itu sendiri. Misalnya, pemberdayaan ekonomi rakyat berupa membina usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah; penyediaan hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum, dan sebagainya. Bahkan, deretan kegiatan sebagai wujud dari CSR atau TJSL inipun masih dapat ditambah bila kita memasukkan aneka kegiatan yang bersifat karitatif di dalamnya, seperti menyantuni anak yatim piatu, menolong korban bencana alam, dan sebagainya.

Jadi, pada prinsipnya CSR bertujuan agar perusahaan dapat memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada poin inilah tampak nyata bahwa pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum ‘diminta’ untuk bersama-sama dengan Pemerintah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat sebab perusahaan juga secara etis moral dinilai memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dan masyarakat. Tugas nasional ini tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab negara semata-mata untuk melaksanakannya, walaupun memang masih dapat dikaji lebih mendalam menyangkut sampai seberapa jauh sebenarnya perusahaan dapat diminta untuk memikul tanggung jawab mulia itu bila dibandingkan dengan kewajiban negara. Di sisi lain, CSR atau TJSL juga sebenarnya memberi manfaat bagi perusahaan yang melaksanakan. Manfaat itu misalnya CSR mampu menciptakan brand image bagi perusahaan di tengah pasar yang kompetitif sehingga pada gilirannya nanti akan mampu menciptakan customer loyalty dan membangun atau mempertahankan reputasi bisnis. Kemudian, CSR juga dapat membantu perusahaan untuk mendapatkan atau melanjutkan license to operate dari Pemerintah maupun dari publik sebab perusahaan akan dinilai telah memenuhi standar tertentu dan memiliki kepedulian sosial. Singkat kata, CSR memang dapat menjadi semacam iklan bagi produk perusahaan yang bersangkutan.

C. TJSL Sebagai Kewajiban Hukum
Konsep CSR atau TJSL di berbagai negara asing, utamanya negara-negara industri maju, dianggap sebagai sebuah konsep yang berdimensi etis dan moral sehingga pelaksanaannya pun oleh perusahaan pada prinsipnya bersifat sukarela bukan sebagai suatu kewajiban hukum.  Di Indonesia, konsep TJSL justru dijadikan sebagai sebuah kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh perusahaan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (1) UU PT. Pasal yang mewajibkan perseroan melaksanakan TJSL ini telah dimohonkan untuk diuji secara formil dan materiil terhadap UUD 1945 di depan  Mahkamah Konstitusi, dengan dalil bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Para pemohon uji materiil berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (1) hingga (3) yang mewajibkan TJSL bagi perseroan telah (a) bertentangan dengan prinsip dasar TJSL atau CSR yaitu kesuka-relaan (b) membebani perseroan secara ganda yaitu kewajiban membayar pajak dan menanggung biaya TJSL atau CSR (c) meniadakan atau setidaknya menafikan konsep demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, sehingga pada akhirnya justru akan mengakibatkan program TJSL atau CSR menjadi hanya sebatas formalitas belaka yang pada akhirnya akan menimbulkan sifat ketergantungan.

Ternyata, terhadap dalil hukum di atas Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat berbeda sehingga MK menolak permohonan uji materiil tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28I ayat (2) jo Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dikatakan oleh para hakim MK bahwa, pertama, menjadikan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74 merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi, dan hal ini adalah benar, karena:
  1. Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan  lingkungan sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.
  2. Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain, utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya tetapi juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi perusahaan yang akan go public. Dengan kata lain, MK tampaknya berpendapat bahwa sesuai kultur hukum Indonesia, penormaan TJSL sebagai norma hukum yang diancam dengan sanksi hukum merupakan suatu keharusan demi tegaknya TJSL atau CSR.
  3. Menjadikan TJSL sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang TJSL oleh perseroan sebagaimana dapat terjadi bila TJSL dibiarkan bersifat sukarela. Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan untuk melaksanakan TJSL berbeda dengan pajak. Lebih jauh, disebutkan oleh MK bahwa pelaksanaan TJSL didasari oleh kemampuan perusahaan, dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran, yang pada akhirnya akan diatur lebih lanjut oleh PP. Demikian pula tentang sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (3) yang merujuk pada sanksi hukum yang terdapat pada perundang-undangan sektoral merupakan rumusan yang tepat dan justru memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri. Jadi, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan para pemohon yang mengatakan adanya berbagai pasal dalam perundang-undangan yang juga mengatur tentang TJSL mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan tumpang tindih sehingga tidak dapat mewujudkan TJSL yang efisien berkeadilan. Khusus tentang perundang-undangan yang tumpang tindih ini akan penulis bahas pada bagian 4 dari artikel ini.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang mewajibkan pelaksanaan TJSL oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL sekedar formalitas perusahaan saja,  sebab:
  1. prinsip demokrasi ekonomi memberi kewenangan kepada Negara untuk tidak hanya menguasai dan mengatur sepenuhnya kepemilikan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, serta untuk memungut pajak semata, melainkan juga kewenangan untuk mengatur pelaku usaha agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.
  2. pelaksanaan TJSL menurut Pasal 74 tetap akan dilakukan oleh perseroan sendiri sesuai prinsip kepatutan dan kewajaran, Pemerintah hanya berperan sebagai pemantau. Dengan demikian, tak perlu dikhawatirkan akan terjadi penyalah-gunaan dana TJSL ataupun membuat perseroan melaksanakan TJSL hanya sebagai formalitas belaka.
  3. pengaturan TJSL dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi rakyat.
  
D. Batasan Perseroan Yang Wajib Melaksanakan TJSL
Dari rumusan Pasal 74 ayat (1) UU PT tampaknya pembuat undang-undang seperti bermaksud untuk ‘membatasi’ perseroan yang diwajibkan melaksanakan TJSL, yaitu dengan menyebut ‘perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam’. Frasa ini kemudian, dalam bagian Penjelasan dari ayat yang bersangkutan, dijelaskan sebagai perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, dan/atau perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.

Apakah dengan demikian Pasal 74 Ayat (1) tersebut tidak bersifat diskriminatif sebab hanya mewajibkan TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Artinya, perseroan yang kegiatan usahanya tidak berhubungan dengan sumber daya alam, termasuk badan usaha yang bukan berupa perseroan yaitu  Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang, dibebaskan dari kewajiban melakukan TJSL? Hal inilah yang juga menjadi dalil dari para pemohon hak uji materiil Pasal 74 UU PT kepada Mahkamah Konstitusi seperti disebut di atas.

Tentang isu di atas, ternyata MK berpendapat bahwa (a) pengaturan secara khusus atau berbeda oleh Pemerintah, melalui Pasal 74 ayat (1) UU PT, bagi perusahaan yang berusaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam adalah sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga dapat dibenarkan (b) sebenarnya terhadap badan usaha yang tidak berbentuk perseroan, misalnya Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang pun juga tetap terkena kewajiban untuk melaksanakan TJSL berdasarkan Pasal 15 dari Undang-Undang  Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Pada poin ini penulis berpendapat bahwa baik Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT maupun rasionale Hakim Mahkamah Konstitusi di atas MK belum cukup memberikan batasan yang tegas tentang perseroan dengan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang bagaimana saja yang wajib melakukan TJSL. Hal ini disebabkan definisi dan luas lingkup dari kegiatan usaha yang mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam (SDA), dan/atau yang berdampak pada fungsi kemampuan SDA sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT dapat ditafsirkan secara luas tergantung pada klasifikasi dari SDA itu sendiri.

SDA dapat diklasifikasi berdasarkan jenisnya yaitu hayati seperti tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan non hayati dengan contoh bahan tambang, air, udara, bebatuan. SDA juga dapat diklasifikasi berdasarkan sifatnya yaitu SDA yang dapat dibaharui, misalnya air, tumbuhan, hewan, hasil hutan; dan SDA yang tak dapat dibaharui seperti minyak bumi, batubara, timah, gas alam. Adapula SDA yang tak terbatas jumlahnya seperti sinar / tenaga surya, air laut, dan udara. Kemudian, SDA bila dilihat dari kegunaan dan penggunaan/pemanfaatannya ada yang disebut SDA penghasil bahan baku seperti hasil hutan, barang tambang, hasil pertanian; dan SDA penghasil energi semisal ombak, panas bumi, arus sungai, tenaga surya, minyak bumi, gas bumi, dsbnya. Persoalannya sekarang, SDA sesuai dengan klasifikasi apa yang dimaksud oleh pembuat UU melalui rumusan Pasal 74 ayat (1) dan Penjelasannya itu?

Apakah perseroan yang harus tunduk pada pasal tersebut hanyalah yang bergerak di bidang pertambangan saja, ataukah juga mereka yang bergerak di bidang hasil hutan, hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil perikanan dan seterusnya? Bagaimana dengan perseroan yang berusaha dibidang ketenaga-listrikan yang bersumber pada tenaga surya, apakah juga wajib melaksanakan TJSL? Apakah perseroan yang usahanya memanfaatkan SDA yang bersifat hayati seperti usaha pemanfaatan tumbuhan, hewan, mikro organisme juga harus tunduk pada Pasal 74 ayat (1)? 

Pembatasan arti terhadap frasa “mengelola dan memanfaatkan SDA” dan/atau “berdampak pada fungsi kemampuan SDA” sebagaimana tercantum dalam Penjelasan dari Pasal 74 ayat (1) menjadi amat penting, karena penafsiran yang luas akan dapat menjaring sebagian besar perseroan, padahal mungkin saja bukan itu maksud semula dari pembuat UU. Secara sederhana, masyarakat awam ataupun kalangan pengusaha mengartikan bahwa perseroan yang dimaksud oleh pasal itu adalah yang bergerak di bidang pertambangan saja. Namun, apakah memang benar demikian maksudnya?

Oleh karena itu, tak berlebihan kiranya bila nanti Pemerintah hendak menerbitkan PP sebagai tindak lanjut dari perintah dalam Pasal 74 ayat (4), persoalan tentang cakupan dan batasan dari pengertian perseroan yang wajib melakukan TJSL menurut Pasal 74 ayat (1) menjadi amat penting. Jangan sampai isi PP itu justru menafsirkan secara ekstensif pasal tersebut sehingga sepertinya justru menambah atau melampaui maksud awal pembuat UU, tetapi jangan pula sebaliknya.

E. Penyebaran Pengaturan Tentang TJSL Perusahaan Dalam Perundang-undangan
Secara eksplisit TJSL perusahaan memang diatur dalam Pasal 74 UU PT dan juga disebut secara tegas dalam Pasal 15 Undang-Undang  Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun, bila konsep CSR atau TJSL diartikan pula sebagai kewajiban perusahaan untuk misalnya mematuhi berbagai kewajiban hukum atau larangan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (perundang-undangan) sektoral, maka ditemukan beberapa UU yang beberapa pasalnya juga mengatur tentang TJSL. Berikut ini contoh beberapa UU yang memiliki pasal-pasal yang mengatur soal kewajiban pelaku usaha (perorangan atau badan usaha) untuk melakukan tindakan tertentu atau untuk tidak melanggar larangan tertentu menurut masing-masing UU:

1. Undang-Undang  Nomor  7 Tahun  2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya Pasal 47 ayat (3), 52, dan 83.

2. Undang-Undang  Nomor  41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 30, 32, 48 ayat (3), dan 50 ayat (2).

3. Undang-Undang  Nomor  22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 40 ayat (2), (3), dan ayat (5).

Tersebarnya penormaan TJSL dalam berbagai perundang-undangan  tersebut secara tersirat juga diperkuat oleh rumusan Pasal 74 ayat (3) UU PT beserta Penjelasannya yang menyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Adanya anak kalimat terakhir inilah yang mempertegas bahwa soal TJSL memang sesungguhnya juga diatur dalam beberapa UU tersebut di atas.

Banyaknya perundang-undangan selain UU PT dan UU Penanaman Modal, yang juga mengatur tentang konsep yang kurang lebih identik dengan TJSL juga menjadi salah satu alasan bagi para pemohon hak uji materiil Pasal 74 khususnya ayat (3) UU PT kepada Mahkamah Konstitusi. Mereka menyebutkan bahwa fakta tersebut memperlihatkan tumpang tindih penormaan TJSL dalam perundang-undangan di Indonesia dengan beragam sanksi sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum. Namun, dalil hukum inipun oleh MK ditolak dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan sektoral yang dirujuk oleh Pasal 74 ayat (3) UU PT dalam konteks penjatuhan sanksi bagi perseroan yang tidak menjalankan kewajiban TJSL, justru tepat dan lebih memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri.
Pada poin ini penulis berpendapat bahwa pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sepenuhnya tepat.  Fakta memperlihatkan bahwa walaupun beberapa UU sektoral di atas dalam beberapa pasalnya mengatur tentang kewajiban bagi perusahaan untuk misalnya: tidak merusak lingkungan hidup, tidak merusak sumber daya air, harus mengelola lingkungan hidup dengan baik dan berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat lokal, dan seterusnya yang oleh Pasal 74 ayat (3) UU PT diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang  juga mewajibkan perseroan melaksanakan TJSL, tetapi hal tersebut sesungguhnya tidak disertai dengan pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi. Artinya, UU di atas tidak seluruhnya mengatur soal sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban yang telah diamanatkan dalam pasal-pasal sebelumnya. Kekosongan soal ketentuan sanksi ini dapat menimbulkan persoalan yang cukup rumit mengingat bahwa Pasal 74 ayat (3) UU PT justru merujuk pada sanksi hukum dalam UU terkait bila sebuah perseroan tidak melaksanakan kewajiban TJSL. Bagaimana sanksi itu akan diterapkan bila dalam UU terkait itu sendiri tidak diatur soal sanksi.

Memang, selalu ditemukan adanya ketentuan pidana atau sanksi dalam seluruh UU di atas, namun harus diperhatikan bahwa pasal ketentuan pidana tersebut tidak selalu berkorelasi dengan pasal yang berisi kewajiban melakukan TJSL. Ketentuan pidana tersebut banyak yang berupa sanksi untuk pelanggaran dari kewajiban lain yang bukan tergolong sebagai TJSL. Berikut ini beberapa contoh:
  1. Dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana atau sanksi, hanya ditujukan untuk pelanggaran terhadap pasal-pasal yang sebenarnya tidak berkait dengan TJSL perusahaan. Hanyalah Pasal 52 yang isinya berkait dengan TJSL yang kemudian disertai dengan Pasal 94 dan Pasal 95 yang berisi sanksi atau ketentuan pidana dengan ancaman pidana penjara dan denda bagi badan usaha yang terbukti tidak memenuhi kewajiban Pasal 52 tersebut. Sedangkan Pasal 47 ayat (3) dan Pasal 83 yang sesungguhnya juga berisi ketentuan berkaitan dengan TJSL perusahaan, justru tidak disertai dengan pasal tentang sanksi.
  2. Dalam Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, pasal tentang sanksi atau ketentuan pidana malah sama sekali tidak berkorelasi dengan pasal-pasal yang berisi TJSL, melainkan sanksi tersebut ditujukan untuk pasal-pasal lain dalam UU tersebut. Misalnya, Pasal 40 ayat (2), ayat (3) dan (5) yang jelas-jelas identik dengan TJSL perusahaan justru tidak disertai dengan pasal sanksi bilamana terjadi pelanggaran terhadap Pasal 40 tersebut.
  3. Dalam Undang-Undang tentang Kehutanan, juga ditemukan hal yang serupa seperti dalam UU tentang Minyak dan Gas Bumi. Artinya, pasal-pasal tentang TJSL perusahaan justru tidak dilengkapi dengan ketentuan perihal sanksi hukum, sebaliknya ketentuan tentang sanksi, khususnya pidana, judtru ditujukan untuk berbagai pelanggaran yang bukan tergolong sebagai bentuk dari TJSL perusahaan.
Jadi, bila Pasal 74 ayat (3) UU PT dipandang oleh Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai sudah tepat dan memberi kepastian hukum, penulis justru meragukan hal tersebut. Sanksi hukum yang oleh pasal itu dianggap pasti ada, faknya tidak selalu demikian. Akibatnya, tetap menimbulkan pertanyaan: bagaimana akan menegakkan aturan tentang kewajiban TJSL perusahaan berdasarkan UU sektoral bila di dalam UU itu tidak ditemukan aturan tentang sanksi hukumnya. Persoalan tentang tidak lengkapnya aturan mengenai sanksi hukum ini sebaiknya harus diantisipasi dalam PP khusus tentang pelaksanaan TJSL perusahaan.

Penting untuk dikaji secara mendalam apakah sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban hukum untuk melaksanakan TJSL  harus berupa sanksi pidana ataukah justru sebaiknya berupa sanksi yang bukan sanksi pidana. Misalnya saja, sanksi tersebut dapat berupa penundaan, penghentian atau pencabutan insentif atau subsidi; sebaliknya bila perusahaan memenuhi kewajiban melakukan TJSL maka terhadapnya Pemerintah memberikan semacam rewards berupa insentif, subsidi, diskon atau pemotongan pajak, atau sejenisnya. Dengan kata lain, sudah saatnya Pemerintah memikirkan secara serius kemungkinan untuk menerapkan bentuk sanksi hukum yang lebih tepat bagi pelaku usaha, dan sebaliknya menjajaki kemungkinan untuk memberikan penghargaan bagi mereka yang mematuhi hukum. Hal ini diduga akan lebih efektif untuk mendorong perusahaan menjalankan kewajiban TJSL, dan berdampak positif bagi perkembangan dunia usaha serta perekonomian nasional secara keseluruhan. Untuk ini sudah saatnya para ahli hukum dan ekonomi bekerja bersama mengembangkan studi dan metode pendekatan economic analysis of law.

F. TJSL Perusahaan dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
Selain ketentuan tentang TJSL perusahaan (khususnya Perseroan) dalam UU PT, ada pula konsep yang kurang lebih sama dengan TJSL tetapi khusus hanya diwajibkan untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik berupa Persero, termasuk di dalamnya Persero Terbuka, maupun Perum, yaitu Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Sumber hukum dari PKBL ini adalah Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Peraturan menteri ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 88.

Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jadi, bila di lihat dari dampak yang diharapkan timbul melalui Program Kemitraan maupun Bina Lingkungan, terlihat ada kesamaan dengan program CSR atau TJSL perusahaan. Dampak tersebut adalah adanya  peningkatan  kesejahteraan dan pemberdayaan komunitas setempat yakni di wilayah di mana perusahaan atau BUMN berdomisili atau menjalankan aktivitas operasionalnya.

Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) Peraturan Menteri di atas mewajibkan BUMN untuk melaksanakan PKBL, dan keberhasilan pelaksanaan PKBL ini menjadi salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN yang bersangkutan. Melalui PKBL, Pemerintah menginginkan terjadi peningkatan partisipasi BUMN dalam upaya Pemerintah untuk memberdayakan dan memperkuat potensi perekonomian rakyat, khususnya unit-unit usaha mikro dan usaha kecil, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas dan menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Terdapat sedikit perbedaan antara PKBL dengan CSR atau TJSL perusahaan, yakni (a) biaya untuk TJSL diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran; sementara biaya untuk PKBL diambil dari laba bersih yang diperoleh BUMN, masing-masing maksimal sebesar 2% untuk Program Kemitraan dan  untuk Program Bina Lingkungan (b) lokasi bagi perseroan yang melaksanakan TJSL adalah terbatas di lingkungan dan/atau komunitas masyarakat setempat di mana perseroan berdomisili atau menjalankan aktivitas operasionalnya; sedangkan lokasi PKBL bagi BUMN lebih luas, yaitu seluruh wilayah Indonesia, tidak terbatas hanya pada domisili BUMN.

Kini, perlu diperhatikan korelasi antara kewajiban TJSL perseroan yang bersumber pada UU PT dengan kewajiban PKBL bagi BUMN yang bersumber dari UU tentang BUMN dan Peraturan Menteri Negera BUMN tersebut di atas. Terlihat bahwa dengan berlakunya UU PT, maka Pasal 74 UU itu semakin memperkuat kewajiban melaksanakan PKBL oleh BUMN, khususnya yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Persoalannya sekarang adalah bila menurut UU PT, sebuah BUMN yang bergerak di bidang sumber daya alam dan berbentuk badan hukum perseroan harus melakukan TJSL; tetapi di sisi lain sebagai sebuah BUMN juga terikat kewajiban untuk melakukan PKBL. Bagaimana mengkoordinasi dan mengharmonisasi kedua hal ini? Apakah bagi BUMN tersebut cukup diberlakukan Peraturan Menteri Negara BUMN tentang PKBL saja, dengan alasan peraturan hukum ini bersifat khusus atau lex specialis katimbang UU PT? Ataukah BUMN tersebut tetap tunduk pada UU PT mengingat peraturan ini bentuk formalnya adalah sebuah UU, yang pasti secara hirarki lebih tinggi daripada Peraturan Menteri? Ketentuan hukum mana saja yang dianggap paling tepat untuk diberlakukan bagi BUMN, tetap saja belum memecahkan seluruh persoalan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tentang sumber dana untuk aktivitas TJSL perusahaan dan untuk PKBL. Biaya untuk TJSL harus bersumber dari anggaran perseroan, sementara dana untuk PKBL diambilkan dari laba bersih BUMN. Artinya, bila BUMN tidak berhasil memperoleh laba maka program PKBL nya tak berjalan, sebaliknya TJSL tetap harus berjalan karena telah dianggarkan sebelumnya. Pada akhirnya, terkesan bahwa BUMN seperti dikenai 2 (dua) kewajiban secara bersamaan yang substansi dan tujuannya kurang lebih sama yaitu menjalankan PKBL dan TJSL.

Persoalan  lain yang layak dikaji lebih lanjut adalah soal sanksi hukum. Pada PKBL, peraturan menteri di atas tidak mengatur sama sekali perihal sanksi bagi BUMN yang tidak mematuhi kewajiban itu. Hanya disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) bahwa keberhasilan pelaksanaan PKBL menjadi indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN yang bersangkutan. Jadi rumusan pasal ini bukan berisi tentang sanksi. Sementara Pasal 74 ayat (3) UU PT seperti telah dibahas di atas, merujuk pada UU terkait atau UU sektoral (dalam konteks ini tentunya adalah perundang-undangan tentang PKBL)  ketika berbicara soal sanksi.

Simpulan sementara hingga poin ini adalah bahwa perlu penataan yang tepat antara kewajiban melakukan TJSL dan PKBL bagi perusahaan yang merupakan BUMN, agar tidak terjadi duplikasi yang dapat menimbulkan penafsiran berbeda-beda dan membebani BUMN. Kecuali itu, harmonisasi, koordinasi dan sinkronisasi peraturan hukum seputar TJSL dan PKBL juga diperlukan agar tujuan utama yaitu meminta pertanggung-jawaban sosial perusahaan untuk turut serta meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat luas dapat tercapai secara adil, efektif, dan efisien.

G. Kesimpulan
Apabila Pemerintah hendak menindak-lanjuti perintah Pasal 74 ayat (4) UU PT untuk membuat peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur tentang TJSL, maka setidaknya ada 4 (empat) persoalan krusial yang perlu dikaji lebih mendalam. Ketiga persoalan itu adalah: (a) batasan tentang perseroan yang terkena kewajiban melaksanakan TJSL,  khususnya tentang frasa ‘perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, atau yang usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam’ (b) harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan perUUan yang juga mengatur substansi yang berkaitan dengan TJSL, khususnya menyangkut ketentuan tentang sanksi hukum (c) pertimbangan penerapan sistem punish and rewards terhadap perseroan yang melawan atau mematuhi kewajiban hukum melakukan TJSL, dengan sedapat mungkin tidak menjatuhkan sanksi berupa pidana melainkan penghapusan atau pengurangan insentif dan sebaliknya (d) harmonisasi dan sinkronisasi antara kewajiban TJSL perusahaan dengan PKBL bagi perusahaan yang berupa BUMN. 

Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud oleh pasal 74 ayat (4) UU PT memang diperlukan untuk lebih memberi kepastian hukum bagi para pelaku usaha khususnya badan-badan usaha, baik yang berupa usaha kecil, menengah, besar, ataupun badan usaha yang modalnya berupa modal domestik maupun asing, dan juga bagi BUMN. Kecuali itu, peraturan pemerintah tersebut juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pengaturan tentang pelaksanaan TJSL perusahaan secara sepihak dan berbeda-beda pada aras daerah melalui peraturan daerah. Apabila peraturan hukum tentang TJSL perusahaan ini dibiarkan tersebar di mana-mana dan pada aras yang berbeda-beda, dikhawatirkan justru akan mengakibatkan pelaksanaan TJSL perusahaan yang tidak efektif, tidak sesuai dengan strategi bisnis masing-masing perusahaan, yang pada akhirnya justru membebani pelaku usaha sendiri.

Tentunya selain mengatur keempat persoalan di atas, peraturan pemerintah tersebut juga seyogianya mengatur secara cukup rinci berbagai jenis atau bentuk program TJSL yang dapat dipilih oleh perusahaan, batasan lokasi wilayah di mana perusahaan boleh melakukan program TJSL, koordinasi di lapangan antara perusahaan dengan pemerintah daerah setempat, sistem pelaporan kegiatan TJSL, dan sebagainya.


Daftar Pustaka
Business for Social Responsibility, (2001). “BSR Issue Briefs: Ethics Codes/Values”. Diakses dari http://www.bsr.org

Council of the Bars and Law Societies of the European Union, “Corporate Social Responsibility and The Role of the Legal Profession: A Guide for European Lawyers Advising on Corporate Social Responsibility Issues”. September 2003.

Mahkamah Konstitusi, Putusan No 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.

Organisasi.Org Komunitas & Perpustakaan Online Indo, “Pengertian Sumber Daya Alam dan Pembagiannya”. Diakses dari http://www.organisasi.org., tanggal 17 Juni 2009.

Porter, Michel E., dan Kramer, Mark R., “Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility”. Harvard Business Review Collection, 2007.

United Natons, “The Global Compact: Advancing Corporate Citizenship in the World Economy” (2001).

World Business Council for Sustainable Development, 2002.

PERKEMBANGAN DAN MASALAH ETIKA BISNIS

Lingkungan bisnis yang mempunyai perilaku etika

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam menghadapi era globalisasi dapat diatasi.
Moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.

Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?

Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

Kesaling tergantungan antara bisnis dan masyarakat

Mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri Oleh karena itu kewajiban perusahaan adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat

Dua pandangan tanggung jawab sosial :

1.      Pandangan klasik : tanggung jawab sosial adalah bahwa tanggung jawab sosial manajemen hanyalah memaksimalkan laba (profit oriented)
Pada pandangan ini manajer mempunyai kewajiban menjalankan bisnis sesuai dengan kepentingan terbesar pemilik saham karena kepentingan pemilik saham adalah tujuan utama perusahaan.
2.      Pandangan sosial ekonomi : bahwa tanggung jawab sosial manajemen bukan sekedar menghasilkan laba, tetapi juga mencakup melindungi dan meningkatkan kesejahteraan sosial
Pada pandangan ini berpendapat bahwa perusahaan bukan intitas independent yang bertanggung jawab hanya terhadap pemegang saham, tetapi juga terhadap masyarakat.
Perilaku bisnis terhadap etika

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :
1. Pengendalian diri2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati

Perkembangan Etika Bisnis
Di akui bahwa sepanjang sejarah kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis dapat dikatakan seumur dengan bisnis itu sendiri. Perbuatan menipu dalam bisnis , mengurangi timbangan atau takaran, berbohong merupakan contoh-contoh kongkrit adanya hubungan antara etika dan bisnis. Namun denikian bila menyimak etika bisnis sperti dikaji dan dipraktekan sekarang, tidak bisa disangkal bahwa terdapat fenomena baru dimana etika bisnis mendapat perhatian yang besar dan intensif sampai menjadi status sebagai bidang kajian ilmiah yang berdiri sendiri.

Masa etika bisnis menjadi fenomena global pada tahun 1990-an, etika bisnis telah menjadi fenomena global dan telah bersifat nasional, internasional dan global seperti bisnis itu sendiri. Etika bisnis telah hadir di Amerika Latin , ASIA, Eropa Timur dan kawasan dunia lainnya. Di Jepang yang aktif melakukan kajian etika bisnis adalah institute of moralogy pada universitas Reitaku di Kashiwa-Shi. Di india etika bisnis dipraktekan oleh manajemen center of human values yang didirikan oleh dewan direksi dari indian institute of manajemen di Kalkutta tahun 1992. Di indonesia sendiri pada beberape perguruan tinggi terutama pada program pascasarjana telah diajarkan mata kuliah etika isnis. Selain itu bermunculan pula organisasi-organisasi yang melakukan pengkajian khusus tentang etika bisnis misalnya lembaga studi dan pengembangan etika usaha indonesia (LSPEU Indonesia) di jakarta.

Etika Bisnis Dalam Akuntansi
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Akuntansi sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya telah membuktikan bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak orang yang menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa, bisnis tidak memerlukan etika.

Masalah etika dalam bisnis :
  1. Suap (Bribery),
  2. Paksaan (Coercion),
  3. Penipuan (Deception),
  4. Pencurian (Theft),
  5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination)

A.      Paksaan (Coercion)
-          Adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman.
-          Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
B.      Penipuan (Deception)
Adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
C.      Pencurian (Theft)
Merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
D.      Diskriminasi tidak jelas  (Unfair discrimination)
-          Adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama.
-          Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai' dan tidak.

Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
·         Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?.
·         Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis  dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
·         Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?.
·         Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis  dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.

Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro.

Dalam menciptakan etika bisnis,  Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan hal sebagai berikut :
      1.  Pengendalian Diri 
                Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".
      2.  Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
                Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
      3.  Mempertahankan Jati Diri
                Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh  pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis.  Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
      4.  Menciptakan Persaingan yang Sehat
      Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan  spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
       5. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan”
                          Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. 

6.       Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi,Kolusi dan komisi)
                 Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara. 

7.       Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
                Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit  (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah.
Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait. 

8.       Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
 Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis. 

9.       Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu demi satu. 

10.   Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuh kembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis. 

11.   Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.