Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono,MM,MBA *
Etika Bisnis di Cina
Pertama-tama, saya meninjau secara singkat kemunculan dan perkembangan
dari etika bisnis, yang mengikuti tiga tahapan (1978-1984; 1984-1994; 1994 –
saat ini) dan didorong oleh empat factor: warisan etika tradisional Cina;
pengaruh dari etika dan filosofi Marxisme; cerminan reformasi ekonomi;
dan pengaruh etika bisnis dari luar negeri. Kemudian, dari pandangan
praktis dan teoritis, saya membahas tentang tantangan-tantangan utama bagi
etika bisnis di Cina: permasalahan di bidang sistem ekonomi, etika
korporasi, dan manajemen. Setelah member komentar terhadap peranan etika bisnis
dalam perkembangan sosial di Cina, saya menawarkan pemikiran tentang apa yang
bisa dikontribusikan oleh Cina untuk, dan belajar dari, orang-orang lain. Lebih
lanjut menghubungan etika bisnis Cina dengan etika bisnis etnis Tionghoa di
beberapa Negara Macan Asia ( Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong )
dan tak lepas juga mencari benang merah Etika bisnis Etnik Tionghoa di
Indonesia.
1. Etika Bisnis di Cina:
Perkembangan, karakteristik, dan kecenderungannya
Etika bisnis di Cina telah muncul dan berkembang utamanya sebagai respon
terhadap reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap: (1) 1978-1984; (2)
1984-1994; dan (3) 1994 – saat ini. Ada empat faktor yang menentukan proses
ini: (1) warisan etika tradisional Cina; (2) pengaruh dari etika dan filosofi
Marxisme; (3) cerminan reformasi ekonomi; dan (4) pengaruh etika bisnis
dari luar negeri.
Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya
budaya Cina. Ini artinya bahwa pada awalnya, hal tersebut tidak dipengaruhi
oleh studi atas etika bisnis di luar negeri. Adalah etika tradisional Cina,
filosofi dan etika Marxisme, dan terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan
reformasi yang telah membuat orang-orang memfokuskan perhatian mereka pada
hubungan antara bisnis dan etika. Tiga faktor ini yang telah memainkan
peranan mereka dalam semua tahapan. Tetapi di tahap terakhir, faktor keempat
yang adalah riset dan studi yang dilakukan di luar negeri, muncul dan bekerja
dengan tiga faktor lainnya. Selama tiga tahapan tadi, orang-orang telah menjadi
lebih memperhatikan hubungan antara bisnis dan moralitas. Banyak diskusi telah
dikembangkan, diperluas, dan dilanjutkan hingga saat ini. Dari diskusi-diskusi
inilah etika bisnis di Cina muncul.
1.1 Tahap 1978-1984: Hubungan antara moralitas dan
ekonomi pada level filosofis, dan etika profesi
Karena pergumulan kelompok adalah aktifitas utama sebelum 1978, aktifitas
ekonomi bukanlah poin penting dalam pemerintahan ataupun perhatian sentral bagi
masyarakat pada waktu itu. Etika bisnis sebagai satu disiplin ilmu tidak pernah
didengar, apalagi dimunculkan. Etika tradisional dan etika barat dikecualikan
dan ditempatkan dibawah label “feudalism, kapilatisme, dan revolusionisme.”
Yang bertahan hanyalah satu bentuk menyimpang dari Marxisme yang hanya member
tekanan pada moralitas kelompok. Titik baliknya adalah pada tahun 1978 dimana
fokus perhatian berpindah ke aktifitas ekonomi, dan reformasi ekonomi pun
dimulai. Suatu ekonomi yang tidak terlalu direncakan secara sentral
diperkenalkan. Sistem tanggung jawab kontrak dengan pembayaran yang terhubung
ke hasil dan diversifikasi ekonomi terjadi di bidang pertanian. Petani
memperoleh kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam manajemen. Empat Zona
Ekonomi Spesial (ZES) dibuka di empat provinsi dari Guangdong dan Fujian.
Invidu atau bisnis pribadi diijinkan untuk melengkapi ekonomi
kepemilikan-publik di seluruh negeri.
Sementara itu, perubahan ideologi juga terjadi. Di tahun 1979, Departemen
Pendidikan memandatkan etika diajarkan sebagai mata kuliah formal oleh
departemen filsafat di universitas-universitas. Di tahun 1980, Komunitas
Nasional Untuk Studi Etika didirikan. Di tahun 1981, “Lima Penekanan dan Empat
Titik Keindahan” diambil sebagai karakterisasi dari moralitas public: penekanan
dalam hal kepantasan sosial, tata krama, disiplin, dan moralitas; dan keindahan
pikiran, bahasa, perilaku, dan lingkungan. Di tahun 1982, Moralitas dan
Peradaban periodik memicu berjalannya studi etika di jalan yang benar.
Karya-karya di bidang etika, edisi-edisi baru dari karya Cina klasik dan
terjemahan dari karya-karya asing di bidang etika dipublikasikan secara
berkelanjutan. Pada tahap “membawa keteraturan kedalam kekacauan, dan membuat
yang salah menjadi benar” ini, hubungan antara bisnis dan etika hanya dibahas
sebatas level filsafat dan etika profesional: hubungan antara ekonomi dengan
moralitas dan dampak yang dibawa mereka; studi dan pendidikan mengenai
moralitas profesional dalam perdagangan, perpajakan, urusan finansial,
akuntansi, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi dunia bisnis, tahapan “membawa
keteraturan kedalam kekacauan” memulai penetapan peraturan moral dan
norma-norma untuk pekerja. Meskipun pada tahap ini belum ada konsep mengenai
etika bisnis, keadaan telah diatur sedemikian rupa supaya etika bisnis akan
dapat berkembang nantinya: satu hal yang menjadi perhatian utama masyarakat
dalam kehidupan bisnis dan ekonomi, orientasi studi etika terhadap aktifitas
ekonomi, ditentukannya norma-norma moral dalam berbagai profesi, meningkatnya
kepentingan moral ketimbang standar politik di masyarakat, perusahaan, dan
individu, dan semakin menjauh dari ketidakpedulian tentang nilai-nilai
kemasyarakatan dan moralitas yang ada sebelumnya. Semua faktor tersebut
membantu berkembangnya etika bisnis menuju tahap berikutnya.
1.2 Tahap 1984-1994: Etika di bidang ekonomi,
bisnis, dan manajemen
Ketika “Keputusan Mengenai Reformasi Sistem Ekonomi” dikeluarkan di tahun
1984, reformasi ekonomi memasuki babak baru. Reformasi tersebut berkembang dari
daerah pinggiran hingga ke kota-kota besar; mulai di bidang pertanian hingga di
bidang industri, perdagangan, dan bidang-bidang ekonomi lainnya. Secara
teoritis, hal ini merubah ekonomi dari keadaan ekonomi-yang-direncanakan
menjadi komoditi-yang-direncanakan. Sebagai tambahan terhadap dijadikannya
Hainan sebagai satu ZES baru, ada empat belas kota lain yang menjadi Kota
Pantai Terbuka (KPT). Jika ekonomi yang ada pada awalnya adalah ekonomi yang
direncanakan secara longgar, ekonomi di tahap kedua ini adalah ekonomi dengan
komiditas terbatas. Dunia filsafat, etika, dan ekonomi telah meninggalkan
tahapan “membuat yang salah menjadi benar” dan memulai studi atas
permasalahan-permasalahan baru di bidang praktek reformasi. Di bawah slogan
“Memperkuat konstruksi dari peradaban spiritual sosialis,” diskusi tentang
bisnis dan etika bergeser menjadi lebih condong ke pendekatan yang berorientasi
kepada permasalahan. Topic-topik berikut ini didiskusikan: perkembangan
komoditas dan moral; reformasi ekonomi dan pergeseran moral; reformasi ekonomi
dan perkembangan moral; reformasi ekonomi dan etika-etika tradisional; etika
dan modernisasi; peradaban jasmani dan peradaban spiritual; ekonomi komoditas
dan pendidikan moral; struktur ekonomi dan struktur moral di jaman sekarang;
tantangan yang dihadapi ekonomi komoditas dan cara yang bermoral untuk
menghadapinya; peraturan ekonomi dan peraturan moral; perubahan-perubahan yang
minat grup-grup yang berbeda-beda; ketidak adilan dalam distribusi sosial.
Topik-topik tersebut sering diprovokasi oleh permasalahan mendesak yang dibawa
oleh perubahan dan kemudian didekati beragam disiplin ilmu (selain ilmu
filsafat). Pembagian menurut tenaga kerja dan atau moralitas; manajemen dan
etika; dan lain sebagainya. Publikasi yang berkenaan dengan hal tersebut antara
lain Etika dalam Manajemen (Weng, 1988); Etika dalam Bisnis (Liu,
1994); Isu Etika di bidang Ekonomi (Li, 1995). Meskipun etika bisnis
merupakan satu disiplin ilmu baru yang masih belum berkembang, lapangan studi
etika bisnis sebenarnya telah ditinjau dari sudut pandang etis secara sangat
menyeluruh yang mencakup semua aktifitas bisnis dan ekonomi: ekonomi, bisnis,
dan manajemen.
1.3 Tahap 1994 hingga sekarang: Etika Bisnis
Pada tahun 1994, reformasi memasuki tahap ketiga, yang terjadi saat ini,
yaitu tahap “Menetapkan ekonomi pasar sosialis.” Sistem ekonomi dengan
perencanaan tersentralisasi yang didukung kepemilikan publik tunggal dan
kesatuan kepemilikan dan manajemen dirubah menjadi sistem ekonomi pasar
desentralisasi dengan kepemilikan yang beragam serta pemisahan antara
kepemilikan dan manajemen. Perubahan-perubahan penting umumnya terjadi di badan
usaha milik Negara: badan usaha berubah menjadi badan hukum; mereka memiliki
kewajiban untuk menjamin dan meningkatkan modal dari investor; dan Negara
memiliki hak dan keuntungan menurut modal investasinya. Badan-badan usaha
ukuran besar atau sedang yang dulunya dimiliki oleh Negara telah berubah
menjadi tiga jenis: perusahaan dengan investasi Negara yang bersifat ekslusif;
Perseroan Terbatas; dan perusahaan induk. Sedangkan perusahaan pemerintah berukuran
kecil telah berubah menjadi banyak jenis: manajemen kontrak; perusahaan modal
gabungan; atau perusahaan yang dilelang kepada individu maupun kolektif. Bukan
hanya para ekonom, filsuf, dan pengusaha yang berpartisipasi dalam diskusi
mengenai permasalahan-permasalahan mengenai reformasi ini, melainkan juga para
pengacara dan awak media. Tahapan ini bisa dikategorikan sebagai tahap
legalisasi dimana banyak peraturan hukum dibuat dan disahkan. Contohnya,
hukum ketenaga kerjaan pertama di Cina! Yaitu Hukum Tenaga Kerja yang
dikeluarkan pada tahun 1995. Terlebih lagi, media memainkan perananan yang
semakin besar. Beragam permasalahan, seperti misalnya permasalahan mengenai
kualitas produk dan polusi lingkungan yang semakin dicemaskan banyak orang, dan
sering didiskusikan baik di surat kabar maupun televisi. Hal ini tentunya akan
terus semakin membakar minat publik di bidang etika bisnis menjadi semakin
membara.
Sementara itu, reformasi juga diprovokasi oleh minat dari akademisi asing.
Sebagai contohnya, kontribusi dari Dr. Tom Sorrel di tahun 1994 (Sorrel et al.,
1994), Universitas Essex., dan Dr. Georges Enderle (Enderle, 1993 dan 1994),
Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat.
1.4 Stimulus Etika Bisnis
Diantara empat stimulus bagi etika bisnis di hampir dua puluh tahun
terakhir, kekuatan pendorong perubahan atau reformasi ekonomi merupakan
stimulus yang paling kuat. Tujuan ekonomi yang terbagi, peraturan hukum bisnis
baru, peningkatan jumlah pengangguran, masalah serius di bidang lingkungan, dan
lain-lain; semuanya membutuhkan diskusi etika, baik bagi mereka yang setuju
akan perubahan maupun yang tidak setuju. Selain faktor ini dan pengaruh etika
bisnis asing, warisan etika tradisional Cina serta pengaruh filsafat dan etika
Marxisme juga perlu ditambahkan.
Di etika tradisional Cina, hubungan antara “Yi” dan “Li” merupakan satu
topic lama yang berulang-ulang muncul. “Li” artinya keuntungan atau laba, dan
“Yi” merujuk pada prinsip atau norma dalam mendapat dan membagi keuntungan atau
laba. Jadi “Yi” sebagai inti atau dasar pemikiran dalam etika tradisional Cina
memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan “Li” (Cheng, 1993). Hubungan
antara keduanya terlihat dalam pandangan yang mengakar dalam pada Confusius:
“Seseorang dengan karakter mulia dapat memahami Yi, tapi seseorang yang dangkal
pemikirannya hanya mengenal Li.” Meskipun penganut pandangan Confusius tidak
sepenuhnya menentang “Li” dan bermaksud menempatkan “Yi” kedalam “Li” atau
untuk mencapai “Li” dengan cara yang bermoral (yang adalah “Yi”), mereka lebih
memperhatikan “Yi” ketimbang “Li”. Masyarakat Cina tidak terbiasa, dan bahkan
malu, untuk membicarakan “Li.” Dengan berdasar pada “Yi” dan “Li”, dua topik
lain pun dikembangkan: “Qun” (kolektif) dan “Ji” (diri sendiri), dan “Li”
(alasan) dan “Yu” (hasrat) (Zhang, 1989). Meskipun begitu, dalam berjalannya
reformasi ekonomi, konsep-konsep dasar dan lama mengenai “Yi” dan “Li”,
serta “Qun” dan “Ji” dan “Li” dan “Yu”, sekali lagi menjadi topik yang hangat.
Hubungan antara “Yi” dan “Li” menjadi pertanyaan sentral dari bisnis dan etika;
konsepnya yang sangat berhubungan mempertanyakan “efisiensi” dan “keadilan.”
“Hasrat jasmani” dan “persyaratan ideal moral atau spiritual.” Terlebih lagi,
topik-topik ini telah berevolusi menjadi beragam permasalahan baik pada level
praktek maupun teori. Tentunya lebih dari filsafat dan etika sebelumnya, mereka
akan menjadi karakter di bidang etika bisnis.
Pemahaman atas pandangan Marxisme di Cina selalu menitik beratkan pada
perubahan moral sejalan dengan perubahan ekonomi, moralitas komunis, karya
ideologis, dan peradaban spiritual. Semua penekanan ini memperkuat
kecenderungan kepada nilai Yi ketimbang Li, dan menunjukkan dimensi moral pada
perubahan atau reformasi ekonomi yang terjadi. Di sisi lain, kecenderungan ini
membantu menjaga kesatuan antara “bisnis” dan “etika”; di pihak lain, reformasi
atau perubahan itu sendiri menantang pandangan ini dan merangsang masyarakat
untuk menggabungkan Yi dan Li pada kondisi pasar yang baru.
1.5 Usaha untuk melembagakan etika bisnis
Pada bulan Februari 1994, Asosiasi Budaya dari Perusahaan Shanghai
dibentuk. Sekarang organisasi tersebut telah memiliki 160 anggota, 80
diantaranya merupakan enterprener. Enterprener ternama, Huang Guancong, adalah
presiden pertama organisasi ini. Universitas Fudan mendirikan Pusat Etika
Terapan yang memiliki departemen Etika Bisnis di dalamnya. Universitas Bisnis
dan Keuangan Cina Selatan juga mendirikan Institut Etika Bisnis.
Fakultas Business Administration Universitas Sudan dan Sekolah Bisnis
Internasional Cina-Eropa di Shanghai menawarkan kelas-kelas etika bisnis untuk
para mahasiswanya, baik S-1 dan Paska Sarjana. Lebih lanjut, “Program Riset
Ilmu Pengetahuan Sosial” yang didanai pemerintah pusat menjadi sarana pendukung
finansial bagi studi di bidang etika bisnis; contohnya Institut Etika Bisnis
yang menerima dana bantuan untuk risetnya yang bertajuk “Proposal Studi Etika
Bisnis selama Periode Sosialis”.
Pertukaran diantara akademisi, diantara akademia dan dunia usaha, dan
diantara pelajar Cina dan pelajar asing pada level nasional dan internasional
semakin meningkat. Di bulan Oktober 1993, pertemuan yang membahas “Pandangan
Sino-Jepang terhadap Etika Praktis” diselenggarakan di Hunan. Di bulan November
1994, Institut Filsafat dari Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Shanghai dan
Perusahaan Dongfeng Shanghai menyelenggarakan pertemuan yang membahas etika
bisnis bagi akademisi dan orang-orang yang bergelut di dunia bisnis yang lebih
lanjut membahas isu-isu yang diantaranya: Apakah warga Cina memang membutuhkan
etika bisnis? Apakah yang menjadi isu penting untuk etika bisnis di Cina?
Apakah hubungan antara etika bisnis dan perkembangan sosial di Cina? Pada bulan
Mei 1995, Pusat Etika Terapan di Universitas Fudan dan Asosiasi Budaya dari
Perusahaan Shanghai mengadakan seminar tentang ide-ide moral di bidang
manajemen, peranan moralitas dalam pembuatan keputusan dan manajemen di bawah
kondisi pasar, serta status moral dari bisnis-bisnis yang ada. Pada musim semi
tahun 1995, Pusat Etika Terapan Universitas Fudan melakukan studi empiris
tentang persepsi etika kalangan bisnis di Cina Timur (Wu, 1996). Di bulan
Oktober 1996, Konferensi Anti-Korupsi Internasional yang Ketujuh
diselenggarakan di Beijing. Pada “Simposium Etika Praktis Sino-Jepang yang
Kesembilan” etika bisnis dan hubungannya dengan etika keluarga, etika
manajemen, dan etika lingkungan juga dibahas. Pada musim panas tahun 1996,
Dewan Riset mengenai Nilai dan Filsafat serta Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial
Cina bersama menyelenggarakan seminar tentang “Etika Ekonomi Amerika dan Cina”,
sedang pada bulan April 1997, “Konferensi Internasional Etika Bisnis Beijing
1997” yang mengumpulkan kurang lebih 150 peserta dari bidang bisnis dan
akademis diselenggarakan dibawah arahan dari Institut Filsafat di Akademi Ilmu
Pengetahuan Sosial Cina.
Sedangkan tentang publikasi yang dikeluarkan pada dua tahun terakhir,
beberapa artikel mengenai perkembangan etika bisnis di Barat (Lu, 1994) muncul
bersamaan dengan beberapa terjemahan dari artikel mengenai etika bisnis dunia
barat, begitu juga beberapa usaha untuk mengembangkan kerangka etika bisnis
berdasarkan sudut pandang Cina (Wang, 1994) telah dilakukan.
2. Tantangan-tantangan utama
terhadap etika bisnis di Cina
2. 1. Permasalahan Utama dalam praktik etika bisnis
2.1.1 Permasalahan
sistem ekonomi
Karena reformasi utamanya hanya dalam hal sistem ekonomi, sebagian besar
dari permasalahan etis yang berhubungan pada tingkat sistemik, beberapa
diantaranya sangat penting.
Mempertegas peranan pasar sambil terus menjaga peran penting pemerintah
di bidang ekonomi. Proses reformasi memerlukan dikuranginya peranan
pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi, dan memperkuat pengaturan pasar ekonomi.
Namun, karena pemerintah adalah perwakilan dari kekayaan milik Negara,
pemerintah seharusnya menjalankan perannya dengan jalan mengambil tanggung
jawab manajerial di perusahaan-perusahaan milik Negara ketimbang hanya sekedar
mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Terlebih lagi, karena
pemerintah adalah target sekaligus pemimpin dari reformasi, maka ia memiliki
kesulitan dalam hal bagaimana menghadapi pasar – dan segala permasalahannya
yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan.
Menjaga posisi dominan atas hak milik publik sambil tetap memastikan
adanya persaingan yang adil. Sebagaimana yang diperlukan pasar, perlu ada
diversifikasi kepemilikan. Beragam tipe kepemilikan dapat hidup berdampingan
dan berkembang bersama dalam kondisi dimana ada persaingan yang adil. Tetapi,
bagaimanapun juga reformasi ditujukan untuk menjaga posisi dominan atas hak
milik publik. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana posisi yang
dominan dapat dijaga sementara persaingan yang adil dengan segala tipe
kepemilikan lainnya bisa dipastikan ada? Bagaimana jalan agar manfaat dari
hak-milik-negara dapat ditampilkan sementara persaingan yang adil tetap dijaga
dan pihak penguasa administratif tidak menyalahgunakan hak milik tersebut untuk
mendesak posisinya yang dominan? Tidak diragukan lagi, ini adalah hal yang
sangat sulit.
Membuka pasar tenaga kerja sementara menjunjung tinggi peran utama tenaga
kerja terhadap Negara. Dalam proses perubahan sistem ketenagakerjaan dan
pembukaan pasar tenaga kerja, ada sekitar seratus juta pengangguran di daerah
pedesaan, dan kurang lebih sepuluh juta di perkotaan. Bila
perusahaan-perusahaan terus memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja di
perkotaan, maka reformasi di perusahaan akan gagal, dan perusahaan yang baru
tidak mampu untuk menanggung beban yang berat seperti itu. Lebih lanjut, lebih
mudah bagi tenaga kerja dari pedesaan untuk menemukan pekerjaan di kota, karena
mereka mau menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja
dari perkotaan. Contohnya, pada tahun 1996 Shanghai memiliki dua juta tenaga
kerja pengangguran, tetapi dua juta enam puluh ribu pekerjaan ditawarkan kepada
tenaga kerja non-lokal.
Memungkinkan beberapa orang dan daerah untuk menjadi lebih kaya dari yang
lainnya sambil tetap berbagi kesejahteraan yang setara. Kebanyakan orang
berpikir bahwa mengijinkan beberapa orang atau daerah untuk menjadi lebih kaya
dari yang lain adalah bukan hal yang salah. Tetapi, mereka sebenarnya peduli
tentang siapa yang menjadi kaya, dan dengan jalan apa. Terlebih, apa hubungan
yang lebih kaya dengan yang lainnya? Kenapa dan bagaimana masyarakat Cina
mencapai tujuan kesejahteraan setara? Apakah membantu yang miskin berarti sama
dengan membantu yang terbelakang? Kenapa dan bagaimana orang-orang yang menjadi
kaya pertama-tama memberikan kontribusi kepada kesejahteraan yang setara?
Apakah yang dimaksud dengan pembagian pemasukan dan kekayaan yang tidak adil,
tidak hanya dari segi hukum melainkan juga dari sudut pandang etika? Apakah
kaum cendekia dan pejabat pemerintah di jaman Cina kontemporer yang
diperlakukan paling tidak adil? Haruskah pemerintah ikut campur dalam hal
pembagian, dan menurut kriteria etika yang mana?
Mengadakan sistem jaminan sosial yang adil. Dalam sistem ekonomi yang
direncanakan secara terpusat, masyarakat mendapatkan pekerjaan, upah, dan
jaminan sosial sekali dan berlaku selamanya. Tetapi sekarang keadaan sudah
berubah, pihak yang mempekerjakan dapat memberhentikan pekerjanya; perbedaan
upah menjadi lebih kentara; jaminan sosial harus dibagi antara Negara,
perusahaan, dan induvidu. Apakah yang dibutuhkan oleh keadilan untuk membagi
semua beban ini?
Mencegah pengekonomisasian masyarakat. Dalam lingkup apakah pasar
semestinya beroperasi? Dalam lingkup apa sajakah pasar semestinya dikecualikan?
Apakah benar untuk berkata, “segalanya adalah demi uang”, ataukah pernyataan
ini hanya benar dan berlaku bagi pasar saja? Apakah bekerja di lapangan seperti
seni, rumah sakit, dan media berarti sama dengan bekerja di perusahaan yang
beroperasi di pasar? Kalau tidak, bagaimana mereka mempertanggung jawabkan
keuntungan dan kerugian mereka?
Perkembangan ekonomi berjalan harmonis dengan perkembangan sosial.
Sejak tahun 1978, ekonomi domestic Cina telah sangat berkembang. Namun,
perkembangan di bidang politik dan budaya tidak berjalan dalam kecepatan yang
setara. Jadi sekarang panggilan untuk perkembangan sosial yang harmonis mulai
didengar. Tetapi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan “perkembangan sosial
yang harmonis”? Apakah masyarakat yang secara alami telah bertumbuh berdasarkan
pasar adalah harmonis? Jika tidak, apa yang akan kita jadikan patokan untuk
mengenali harmoni itu sendiri? Bagaimana kita bisa menghubungkan perkembangan
di bidang politik dan budaya tanpa membahayakan kondisi lingkungan, prasarana,
serta ekologi sambil tetap mengembangkan ekonomi? Bagaimana kita bisa terus
mengejar tujuan modernisasi tanpa melakukan kesalahan yang sama dengan yang
telah dilakukan Negara-negara maju sebelumnya?
Seperti yang telah disebutkan di bagian pertama, topik sentral dari etika
bisnis adalah hubungan antara “Yi” dan “Li”, atau antara bisnis dan etika.
Topik ini dimanifestasikan sebagai masalah keadilan dan efisiensi pada level
sistemik. Apa yang diangkat topik-topik diatas adalah apakah yang perlu
dibangun adalah suatu sistem yang merupakan kesatuan dari efisiensi dan
keadilan, atau sistem yang merupakan kesatuan antara fungsi dan moralitas. Juga
bagaimana cara melaksanakannya. Menurut pandangan saya, adalah tugas dari etika
sistem untuk membantu supaya sistem tersebut tadi dapat dicapai.
2.1.2 Permasalahan
etika korporasi
Dekade 1990-an menjadi saksi banyaknya korporasi yang bermunculan di daratan
Cina. Dengan cepat, masalah etika korporasi akan menjadi pokok dari etika
bisnis di Cina, terutama permasalahan di perusahaan milik Negara berukuran
besar dan sedang.
Pemisahan antara perusahaan dan pemerintah. Yang dulunya dikenal
sebagai Biro-Biro Industri telah diganti dengan grup perusahaan-perusahaan
induk, dan komite pengurus kekayaan milik Negara pun telah dibentuk. Reformasi
ini bertujuan untuk memisahkan perusahaan dari pemerintah untuk memperjelas hak
milik atas kekayaan untuk membangun satu struktur ekonomi yang
berdiversifikasi. Namun, ada pepatah yang mengatakan, “mengganti biro dengan
komite itu sama seperti ibu mertua menjadi ibu sendiri”. Tanggung jawab dari
komite adalah untuk menjamin dan meningkatkan kekayaan Negara, tetapi apakah
yang menjadi hak dari komite? Dan bagaimana mereka semestinya menggunakan hak
tersebut? Hubungan seperti apakah yang pantas ada antara komite dengan
perusahaan? Apakah perusahaan merupakan agen independen? Apakah yang menjadi
tanggung jawab secara etika yang mesti diketahui dan dilakukan oleh perusahaan?
Masalah-masalah inilah yang tidak hanya bersifat ekonomi, namun juga bersifat
etika.
Tanggung jawab sosial. Perusahaan-perusahaan milik Negara sudah
menjadi suatu bentuk masyarakat tersendiri. Atas nama pemerintah, mereka telah
terbiasa – hingga sampai saat ini – untuk menanggung beban tanggung jawab bagi
semua anggotanya, mulai dari perumahan dan pelayanan pengobatan hingga sampai
pembayaran pension. Contohnya, di satu perusahaan kaca, diantara 6000 orang
anggotanya, ada 3000 pensiunan pekerja yang biaya pengobatannya mencapai dua
juta Yuan per tahunnya (selain berbagai biaya lainnya untuk keperluan mereka,
seperti biaya transport, perumahan, dana pension, dll). Dengan beban yang berat
seperti itu, bagaimana perusahaan-perusahaan ini dapat bersaing dengan
perusahaan-perusahaan lain yang beda kepemilikannya?
Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan. Polusi lingkungan
merupakan satu masalah yang serius. Dan masih ada beberapa firma bisnis dan
pengusaha yang tidak menyadari tanggung jawab mereka terhadap lingkungan.
Meskipun beberapa memang sudah menyadari tanggung jawabnya, namun mereka
kekurangan dana untuk merekonstruksi bisnis mereka untuk menjadi ramah
lingkungan. Melalui beberapa peraturan hukum yang berhubungan dengan masalah
ini yang telah dikeluarkan baru-baru ini, mulai lebih banyak orang menunjukkan
perhatian yang besar terhadap masalah ini; tetapi bagaimanapunnjuga, masih
banyak yang perlu dilakukan baik oleh instansi-instansi bisnis maupun
pemerintah sehubungan dengan masalah ini.
Banyak permasalahan etika yang membingungkan memusingkan para pengusaha.
Akan saya sebutkan tiga diantaranya. Yang pertama adalah kualitas produk. Ini
menunjukkan kualitas dari perusahaan serta tugas dari pejabat-pejabat
pemerintah lokal. Kebanyakan dari perusahan milik Negara berukuran sedang
hingga besar menyadari hal ini dan bekerja dengan jujur, meskipun beberapa
partner mereka tidak melakukan hal yang sama. Kemudian bagaimana mereka harus
bersikap terhadap partner yang berlaku seperti itu? Apakah yang menjadi
tanggung jawab pemerintah lokal pada situasi seperti ini? Bagaimanakan hal ini
mengembangkan ekonomi lokal dari aspek hukum? Yang kedua adalah hutang
segitiga. Untuk menduduki pasar-pasar tertentu, beberapa perusahaan – di
luar kemauan mereka – berhutang dalam jumlah yang sangat besar. Untuk kasus
ini, mereka lebih memprioritaskan efisiensi ketimbang pertimbangan moral.
Apakah mereka dapat dibenarkan? Dan jika tidak benar, jadi apa yang seharusnya
mereka lakukan? Yang ketiga adalah berikut ini: Pada situasi yang sulit, haruskan
mereka menolong partner mereka? Biasanya mereka akan menjawab “ya”. Tetapi,
haruskah mereka melakukannya di dalam situasi dimana bantuan ini – yang akan
mereka berikan – akan menguntungkan perusahaan mereka sendiri, yang artinya
mementingkan pegawai dan pemegang saham mereka? Perkembangan sistem korporasi
kontemporer membawa peningkatan jumlah masalah di level perusahaan meskipun
beberapa diantaranya selalu membawa hubungan dengan peraturan dari sistem
ekonomi.
2.1.3 Permasalahan
etika dari manajemen
Sejumlah besar permasalahan muncul pada tahap ini: perlakuan berbeda dari
pegawai yang berbeda; manajer umum (general manager) melawan
manajer-manajer / kepala-kepala bagian; tenaga kerja lokal dan non-lokal;
hubungan antara pria dan wanita; mempertahankan integritas pribadi di dalam
pasar yang kompetitif; dilema di antara “etika yang baik” dan “bisnis yang
baik”; karirisme, dll.
2.1.4 Permasalahan
Hubungan Bisnis Internasional
Kebijakan “Pintu Terbuka” bertujuan untuk memelihara investasi asing. Namun,
kebijakan tersebut melibatkan hal-hal yang semestinya dipahami oleh kedua belah
pihak, baik masyarakat Cina maupun asing (sebagai contoh, pengamatan yang
menarik bisa ditemukan di De George, 1993, chapter 8).
Mendukung perusahaan asing sambil terus mengembangkan industri nasional
Cina sendiri. Apakah perusahaan asing mesti didorong untuk menduduki pasar
yang sebelumnya dipegang oleh perusahaan-perusahaan nasional Cina? Apakah
memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan asing sementara perusahaan
nasional tidak menerima perlakuan yang sama adalah hal yang baik dan adil? Jika
ya, bagaimana perusahaan-perusahaan Cina dapat bersaing dengan perusahaan
asing, dengan menilik fakta bahwa teknologi dan kemampuan manajemen mereka
sering tertinggal dibelakang perusahaan asing?
Mencari teknologi modern dan bersaing dengan bisnis internasional.
Kadang terjadi, beberapa investor asing memasok teknologi yang tidak terlalu
modern, atau bahkan teknologi yang sudah ketinggalan jaman; mereka menggantikan
yang lama dengan yang baru, yang jelek dengan yang bagus dan harga-rendah
dengan harga-tinggi. Menurut criteria apakah Cina semestinya memisahkan antara
yang investasi asing yang “baik” dan “buruk”?
Mencari modal asing dan perlindungan tenaga kerja. Kebanyakan dari
permasalahan etika yang serius dan mendesak disebabkan antara lain oleh kondisi
ketenaga kerjaan yang buruk dan tidak dapat diterima, pekerjaan yang intens
dengan bayaran rendah, dan penghinaan terhadap pekerja. Meskipun telah ada
Hukum Ketenaga Kerjaan yang mencakup peraturan-peraturan tentang perlindungan
tenaga kerja, beberapa pejabat pemerintah hanya sekedar mencari investor asing
tanpa memperhatikan peraturan-peraturan ketenaga kerjaan yang sudah ada tadi.
Oleh karenanya, timbul pertanyaan: apakah modal asing lebih berharga dibanding
pertimbangan moral masyarakat? Bagaimana dengan kewajiban pejabat
pemerintah untuk tunduk terhadap peraturan yang berlaku? Yang manakah yang
termasuk kejahatan yang lebih kecil: Perlakuan yang buruk terhadap pekerja,
atau tidak ada pekerjaan sama sekali?
Merekonsiliasi persaingan antara perusahaan Cina dan kebudayaan Cina
kolektif. Sayangnya, pengamatan seorang penulis Barat yang tertulis berikut
adalah benar adanya: “Di satu sisi, perusahaan-perusahaan Cina melihat satu
sama lain sebagai musuh, karena mereka berbagi pasar yang sama; ini adalah satu
permainan ‘zero-sum’ dimana keuntungan yang didapat satu pihak berarti
kehilangan bagi pihak yang satunya. Di sisi lain, kebudayaan kolektif mendesak
mereka untuk membangun hubungan yang dapat diperpanjang ke kompetitornya.” Atau
seperti yang disebut oleh orang Cina, “Jadi investor ‘banteng’ yang optimis dan
memprediksikan kenaikan pasar, dan saling bunuh!” Contohnya, ada lebih dari
1000 perusahaan Cina yang mengekspor sepatu ke luar negeri. Karena ada
desentralisasi, setiap perusahaan mempunyai hak untuk mengekspor produknya, dan
setiap perusahaan bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian mereka. Oleh
karena itulah ada kompetisi ganas diantara mereka, dan mereka mesti menjawab
tantangan itu. Bagaimana mereka mendamaikan tanggung jawab mereka terhadap
perusahaan dan terhadap Negara? Meskipun mereka memiliki sedikit pengalaman
tentang cara-cara barat kontemporer untuk berbisnis, mereka tetap perlu
mempelajari dan mempertimbangkan praktek-praktek baru ini ketika mereka
memasuki pasar internasional.
Semua permasalahan dan tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh kaum pebisnis
Cina, tetapi juga oleh para akademisi yang semestinya memeriksa dan
mempelajarinya secara mendalah dan mengambil langkah lebih jauh dari sekedar
mendiskusikan perubahan pasar dalam konteks umum.
2.2 Permasalahan teoritis dari etika bisnis
Tantangan sentral bagi etika bisnis di Cina adalah untuk mengembangkan
satu teori yang memiliki relevansi tinggi yang membantu menganalisa serta
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi para pelaku ekonomi pada level
sistemik, organisasional, dan individual. Dalam lapangan etika bisnis yang baru
muncul ini, seseorang dapat membedakan permasalahan-permasalahan dan
pendekatan-pendekatan yang beragam yang masih jauh dari pembentukan atas satu
badan pengetahuan yang koheren. Ada beberapa pertanyaan yang sangat penting:
Argumen tentang etika bisnis sebagai satu disiplin ilmu. Apakah
etika bisnis itu? Semacam etika terapan? Satu pendekatan interdisipliner?
Kerangka etika bisnis. Menurut criteria apakah etika bisnis
semestinya dibentuk? Apakah menurut lima aktifitas kerja; manajemen, produksi,
sirkulasi, distribusi, dan konsumsi? Ataukah menurut level-level yang beragam
dari tindakan manusia: sistemik (makro), organisasional (meso), atau individual
(mikro)?
Kekuatan pendorong etika bisnis. Mengapa kaum pebisnis mesti berlaku
menurut etika? Apa yang menjadi kekuatan pendorong dari praktik etika?
Argument yang mendukung dan menentang ekonomi pasar. Apakah ekonomi
pasar dapat dibenarkan? Haruskah ekonomi pasar dibenarkan dan terus dikejar?
Kondisi etis, legal, dan ekonomis seperti apakah yang diperlukan oleh ekonomi
pasar?
Prinsip-prinsip moral dalam bisnis. Perlukah moralitas komunis
digantikan dengan moralitas utilitarianisme? Perlukah utilitarianisme dan
altruisme digabungkan? Bagaimana dengan egoisme?
Norma-norma etika bisnis. Apakah spesifikasi dari norma etika bisnis
dibandingkan dengan norma etika “murni” dan jenis-jenis lain dari etika
terapan?
Apakah layak untuk dikatakan bahwa ada suatu konsensus sehubungan
dengan isu-isu berikut:
- Ekonomi pasar mendesak
pengaruh positif dan negative terhadap hal-hal lain, wilayah non-ekonomis dalam
kehidupan manusia dan masyarakat.
- Reformasi sistem
ekonomi semestinya bertujuan untuk mengurangi kekuasaan pejabat-pejabat
pemerintah untuk campur tangan di perusahaan-perusahaan, dan reformasi juga
semestinya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pejabat-pejabat pemerintah
kepada perusahaan.
- Perkembangan ekonomi
seharusnya berjalan harmonis dengan perkembangan sosial, yang membutuhkan
regulasi-makro (cf. diskusi bermutu di Liu, 1993).
- Prinsip-prinsip
berikut seharusnya menjadi pedoman dalam mengkoordinasikan
kepentingan-kepentingan sosial: meningkatkan kekuatan produktif, meningkatkan
kekuatan nasional yang telah dipersatukan, dan membawa keuntungan kepada
kehidupan masyarakat.
- Perbedaan dalam
distribusi pendapatan diantara anggota masyarakat seharusnya disadari;
efisiensi harus dipelihara; perkembangan ekonomi harus membawa keadilan dan
kesejahteraan umum.
3. Etika bisnis dan
perkembangan sosial di Cina
Ada pepatah yang berkata bahwa abad ke 21 akan menjadi sebagai abad milik
Cina (Wong, 1995). Namun, saya kira seharusnya tidak ada abad yang khusus
menjadi milik masyarakat tertentu. Supaya yakin, pencapaian Cina di abad berikutnya
akan sangat bergantung kepada keputusan-keputusan yang diambilnya saat ini.
Masih ada banyak masalah serius di Cina, seperti yang ditunjukkan oleh Kenneth
Lieberthal (Lieberthal, 1995): Inflasi, korupsi, migrasi ke kota-kota besar,
perbedaan kekayaan yang semakin meningkat, jumlah pengangguran yang besar, dan
besarnya dampak sosial dari proyek konstruksi urban besar-besaran adalah
sedikit diantaranya. Masalah-masalah ini memerlukan solusi yang adil dan
berkelanjutan, yang tidak dapat diperoleh hanya melalui cara-cara ekonomi. Jadi
etika bisnis diperlukan untuk membangun Cina yang stabil dan maju.
Etika bisnis di Cina harus memiliki fokus yang kuat kepada reformasi sistem
ekonomi yang menggabungkan efisiensi dan keadilan. Lebih lanjut, karena perusahaan
adalah unit dasar dari produksi dan mereka menjadi pelaku ekonomi independen,
etika korporasi pun menjadi penting.
Pelaksana bisnis menghadapi beragam dilema etika sambil terus dipengaruhi
oleh etika tradisional Cina. Untuk bisa memahami “Li”, seseorang mesti
mempertimbangkan “Yi”. Tetapi, pedoman umum ini sangat memerlukan spesifikasi
dan penjelasan yang seharusnya disediakan oleh studi etika bisnis.
Etika bisnis adalah lapangan dimana etika yang baru sedang dalam proses
pembuatan. Perubahan-perubahan dramatis dari ekonomi yang terencana secara
sentral menjadi ekonomi pasar melibatkan perubahan kultural yang radikal dan
juga perubahan terhadap etika. Beberapa ide lama mengenai etika-etika atau
norma-norma mulai digantikan dengan yang baru. Semua perubahan ini akan
berlangsung lama dan mempengaruhi keseluruhan budaya etika Cina (Liao, 1995).
Karena bisnis di Cina semakin terjalin dan terhubung dengan bisnis
internasional, ia memerlukan satu bahasa internasional umum. Ini nantinya akan
meningkatkan pemahaman terhadap pandangan-pandangan politik dan masyarakat yang
berbeda serta membantu perkembangan sosial di Cina.
4. Pertukaran ide dan
pengalaman dengan Negara lain
Dalam perjalanan menuju perubahan yang beriorientasi kepada pasar, Cina
telah memilih “Jalan Berkarakter Cina” miliknya yang membedakannya dari Negara
maju, Negara berkembang, dan juga mantan Negara sosialis. Namun, Cina bisa
mempelajari banyak hal dari Negara-negara lain, tidak hanya dari pengalaman dan
pencapaian mereka di pasar tetapi juga dari pekerjaan mereka di bidang etika
bisnis. Dari literatur etika bisnis yang luas, saya hanya dapat menunjukkan
secara singkat beberapa isu sebagai berikut:
Menganggap serius dimensi etika dari bisnis. Bisnis bukanlah suatu
aktifitas yang netral secara moral. W. Michael Hoffman dan Robert E. Frederick
(Hoffman et. al., 1995) menuliskan bahwa, “Memang benar bahwa tujuan dari
bisnis adalah laba, tetapi proses mendapatkan laba bukanlah satu aktifitas yang
netral secara moral. Menurut tradisi, kita telah mendorong bisnis untuk
mengejar laba karena kita yakin bahwa pencarian laba tidak melanggar hak apapun
dan merupakan hal yang terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam
dua dekade terakhir, muncul keberatan terhadap kepercayaan bahwa bisnis secara
keseluruhan memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan umum”. Kami,
masyarakat Cina, seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dampak ekonomi pasar
terhadap moralitas dan hubungan hubungan timbal balik keduanya. Melainkan juga
menguji bisnis itu sendiri dari perspektif etis, contohnya dimensi etika dari
bisnis yang tidak datang dari luar, melainkan sesuatu yang bersifat internal,
komponen yang bertalian dengan bisnis itu sendiri. Kita seharusnya peduli
dengan cara etis untuk mendapat keuntungan, atau cara Yi menuju Li.
Mendefinisikan dan menanggung beragam tanggung jawab untuk meningkatkan
kualitas etika dari bisnis. Setiap pelaku ekonomi memiliki, dan beroperasi
dalam, ruangannya sendiri dimana ia membuat keputusan dan mengambil tindakan,
yang dibatasi oleh berbagai kondisi. Seseorang tidak semestinya melemparkan
tanggung jawabnya kepada pelaku ekonomi lainnya, begitu juga tanggung jawab
semestinya tidak disingkirkan dari satu level ke level lainnya. Pertanyaan fundamental
yang perlu diajukan bukanlah “Apa yang harus dilakukan oleh individu dan
perusahaan lain, serta ekonomi nasional?” melainkan apa yang seharusnya saya
pribadi lakukan, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan dan Negara,
dimana saya menjadi anggotanya, untuk mengetahui dan melaksanakan kewajiban
etis pada level-level perilaku yang berbeda? (Enderle, 1993)
Untuk mempelajari strategi dan metode untuk menganalisa dimensi etis dari
pengambilan keputusan dalam bisnis secara kongkrit. Karena permasalahan
etika bisnis kebanyakan adalah kongrit dan spesifik, alat untuk menganalisanya
perlu dikembangkan untuk bisa mengatasi permasalahan-permasalahan kompleks ini.
Satu pendekatan yang merangsang adalah milik Marvin T. Brown Proses Etika
(Brown, 1996).
Mengembangkan etika bisnis dengan berdasar kepada budaya tradisional
milik Negara sendiri. Literatur etika bisnis menawarkan banyak pendekatan
yang menarik, beberapa yang ingin saya sebutkan dengan singkat antara lain:
John W. Houck dan Oliver Williams: Nilai-Nilai Penuh (1978); S.K.
Chakraborty: Manajemen Menurut Nilai (1991); Ryuzaburo Kaku: Kyosei –
Satu Konsep Yang Akan Memimpin Abad ke-21 (1995).
Sumber : http://www.confucian.me/profiles/blogs/perkembangan-etika-bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar