Sabtu, 24 Maret 2012

PERKEMBANGAN ETIKA BISNIS TIONGHOA

Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono,MM,MBA *

Etika Bisnis di Cina

 Pertama-tama, saya meninjau secara singkat kemunculan dan perkembangan dari etika bisnis, yang mengikuti tiga tahapan (1978-1984; 1984-1994; 1994 – saat ini) dan didorong oleh empat factor: warisan etika tradisional Cina; pengaruh dari  etika dan filosofi Marxisme; cerminan reformasi ekonomi; dan pengaruh etika  bisnis dari luar negeri. Kemudian, dari pandangan praktis dan teoritis, saya membahas tentang tantangan-tantangan utama bagi etika bisnis di Cina: permasalahan  di bidang sistem ekonomi, etika korporasi, dan manajemen. Setelah member komentar terhadap peranan etika bisnis dalam perkembangan sosial di Cina, saya menawarkan pemikiran tentang apa yang bisa dikontribusikan oleh Cina untuk, dan belajar dari, orang-orang lain. Lebih lanjut menghubungan etika bisnis Cina dengan etika bisnis etnis Tionghoa di beberapa Negara Macan Asia ( Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong ) dan tak lepas juga mencari benang merah Etika bisnis Etnik Tionghoa di  Indonesia. 

1.       Etika Bisnis di Cina:
Perkembangan, karakteristik, dan kecenderungannya

Etika bisnis di Cina telah muncul dan berkembang utamanya sebagai respon terhadap reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap: (1) 1978-1984; (2) 1984-1994; dan (3) 1994 – saat ini. Ada empat faktor yang menentukan proses ini: (1) warisan etika tradisional Cina; (2) pengaruh dari etika dan filosofi Marxisme; (3) cerminan reformasi ekonomi; dan (4) pengaruh etika  bisnis dari luar negeri.

Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya budaya Cina. Ini artinya bahwa pada awalnya, hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis di luar negeri. Adalah etika tradisional Cina, filosofi dan etika Marxisme, dan terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan reformasi yang telah membuat orang-orang memfokuskan perhatian mereka pada hubungan antara bisnis dan etika.  Tiga faktor ini yang telah memainkan peranan mereka dalam semua tahapan. Tetapi di tahap terakhir, faktor keempat yang adalah riset dan studi yang dilakukan di luar negeri, muncul dan bekerja dengan tiga faktor lainnya. Selama tiga tahapan tadi, orang-orang telah menjadi lebih memperhatikan hubungan antara bisnis dan moralitas. Banyak diskusi telah dikembangkan, diperluas, dan dilanjutkan hingga saat ini. Dari diskusi-diskusi inilah etika bisnis di Cina muncul.

1.1   Tahap 1978-1984: Hubungan antara moralitas dan ekonomi pada level filosofis, dan etika profesi

Karena pergumulan kelompok adalah aktifitas utama sebelum 1978, aktifitas ekonomi bukanlah poin penting dalam pemerintahan ataupun perhatian sentral bagi masyarakat pada waktu itu. Etika bisnis sebagai satu disiplin ilmu tidak pernah didengar, apalagi dimunculkan. Etika tradisional dan etika barat dikecualikan dan ditempatkan dibawah label “feudalism, kapilatisme, dan revolusionisme.” Yang bertahan hanyalah satu bentuk menyimpang dari Marxisme yang hanya member tekanan pada moralitas kelompok. Titik baliknya adalah pada tahun 1978 dimana fokus perhatian berpindah ke aktifitas ekonomi, dan reformasi ekonomi pun dimulai. Suatu ekonomi yang tidak terlalu direncakan secara sentral diperkenalkan. Sistem tanggung jawab kontrak dengan pembayaran yang terhubung ke hasil dan diversifikasi ekonomi terjadi di bidang pertanian. Petani memperoleh kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam manajemen. Empat Zona Ekonomi Spesial (ZES) dibuka di empat provinsi dari Guangdong dan Fujian. Invidu atau bisnis pribadi diijinkan untuk melengkapi ekonomi kepemilikan-publik di seluruh negeri.

Sementara itu, perubahan ideologi juga terjadi. Di tahun 1979, Departemen Pendidikan memandatkan etika diajarkan sebagai mata kuliah formal oleh departemen filsafat di universitas-universitas. Di tahun 1980, Komunitas Nasional Untuk Studi Etika didirikan. Di tahun 1981, “Lima Penekanan dan Empat Titik Keindahan” diambil sebagai karakterisasi dari moralitas public: penekanan dalam hal kepantasan sosial, tata krama, disiplin, dan moralitas; dan keindahan pikiran, bahasa, perilaku, dan lingkungan. Di tahun 1982, Moralitas dan Peradaban periodik memicu berjalannya studi etika di jalan yang benar. Karya-karya di bidang etika, edisi-edisi baru dari karya Cina klasik dan terjemahan dari karya-karya asing di bidang etika dipublikasikan secara berkelanjutan. Pada tahap “membawa keteraturan kedalam kekacauan, dan membuat yang salah menjadi benar” ini, hubungan antara bisnis dan etika hanya dibahas sebatas level filsafat dan etika profesional: hubungan antara ekonomi dengan moralitas dan dampak yang dibawa mereka; studi dan pendidikan mengenai moralitas profesional dalam perdagangan, perpajakan, urusan finansial, akuntansi, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi dunia bisnis, tahapan “membawa keteraturan kedalam kekacauan” memulai penetapan peraturan moral dan norma-norma untuk pekerja. Meskipun pada tahap ini belum ada konsep mengenai etika bisnis, keadaan telah diatur sedemikian rupa supaya etika bisnis akan dapat berkembang nantinya: satu hal yang menjadi perhatian utama masyarakat dalam kehidupan bisnis dan ekonomi, orientasi studi etika terhadap aktifitas ekonomi, ditentukannya norma-norma moral dalam berbagai profesi, meningkatnya kepentingan moral ketimbang standar politik di masyarakat, perusahaan, dan individu, dan semakin menjauh dari ketidakpedulian tentang nilai-nilai kemasyarakatan dan moralitas yang ada sebelumnya. Semua faktor tersebut membantu berkembangnya etika bisnis menuju tahap berikutnya.

1.2   Tahap 1984-1994: Etika di bidang ekonomi, bisnis, dan manajemen

Ketika “Keputusan Mengenai Reformasi Sistem Ekonomi” dikeluarkan di tahun 1984, reformasi ekonomi memasuki babak baru. Reformasi tersebut berkembang dari daerah pinggiran hingga ke kota-kota besar; mulai di bidang pertanian hingga di bidang industri, perdagangan, dan bidang-bidang ekonomi lainnya. Secara teoritis, hal ini merubah ekonomi dari keadaan ekonomi-yang-direncanakan menjadi komoditi-yang-direncanakan. Sebagai tambahan terhadap dijadikannya Hainan sebagai satu ZES baru, ada empat belas kota lain yang menjadi Kota Pantai Terbuka (KPT). Jika ekonomi yang ada pada awalnya adalah ekonomi yang direncanakan secara longgar, ekonomi di tahap kedua ini adalah ekonomi dengan komiditas terbatas. Dunia filsafat, etika, dan ekonomi telah meninggalkan tahapan “membuat yang salah menjadi benar” dan memulai studi atas permasalahan-permasalahan baru di bidang praktek reformasi. Di bawah slogan “Memperkuat konstruksi dari peradaban spiritual sosialis,” diskusi tentang bisnis dan etika bergeser menjadi lebih condong ke pendekatan yang berorientasi kepada permasalahan. Topic-topik berikut ini didiskusikan: perkembangan komoditas dan moral; reformasi ekonomi dan pergeseran moral; reformasi ekonomi dan perkembangan moral; reformasi ekonomi dan etika-etika tradisional; etika dan modernisasi; peradaban jasmani dan peradaban spiritual; ekonomi komoditas dan pendidikan moral; struktur ekonomi dan struktur moral di jaman sekarang; tantangan yang dihadapi ekonomi komoditas dan cara yang bermoral untuk menghadapinya; peraturan ekonomi dan peraturan moral; perubahan-perubahan yang minat grup-grup yang berbeda-beda; ketidak adilan dalam distribusi sosial. Topik-topik tersebut sering diprovokasi oleh permasalahan mendesak yang dibawa oleh perubahan dan kemudian didekati beragam disiplin ilmu (selain ilmu filsafat). Pembagian menurut tenaga kerja dan atau moralitas; manajemen dan etika; dan lain sebagainya. Publikasi yang berkenaan dengan hal tersebut antara lain Etika dalam Manajemen (Weng, 1988); Etika dalam Bisnis (Liu, 1994); Isu Etika di bidang Ekonomi (Li, 1995). Meskipun etika bisnis merupakan satu disiplin ilmu baru yang masih belum berkembang, lapangan studi etika bisnis sebenarnya telah ditinjau dari sudut pandang etis secara sangat menyeluruh yang mencakup semua aktifitas bisnis dan ekonomi: ekonomi, bisnis, dan manajemen.

1.3   Tahap 1994 hingga sekarang: Etika Bisnis

Pada tahun 1994, reformasi memasuki tahap ketiga, yang terjadi saat ini, yaitu tahap “Menetapkan ekonomi pasar sosialis.” Sistem ekonomi dengan perencanaan tersentralisasi yang didukung kepemilikan publik tunggal dan kesatuan kepemilikan dan manajemen dirubah menjadi sistem ekonomi pasar desentralisasi dengan kepemilikan yang beragam serta pemisahan antara kepemilikan dan manajemen. Perubahan-perubahan penting umumnya terjadi di badan usaha milik Negara: badan usaha berubah menjadi badan hukum; mereka memiliki kewajiban untuk menjamin dan meningkatkan modal dari investor; dan Negara memiliki hak dan keuntungan menurut modal investasinya. Badan-badan usaha ukuran besar atau sedang yang dulunya dimiliki oleh Negara telah berubah menjadi tiga jenis: perusahaan dengan investasi Negara yang bersifat ekslusif; Perseroan Terbatas; dan perusahaan induk. Sedangkan perusahaan pemerintah berukuran kecil telah berubah menjadi banyak jenis: manajemen kontrak; perusahaan modal gabungan; atau perusahaan yang dilelang kepada individu maupun kolektif. Bukan hanya para ekonom, filsuf, dan pengusaha yang berpartisipasi dalam diskusi mengenai permasalahan-permasalahan mengenai reformasi ini, melainkan juga para pengacara dan awak media. Tahapan ini bisa dikategorikan sebagai tahap legalisasi  dimana banyak peraturan hukum dibuat dan disahkan. Contohnya, hukum ketenaga kerjaan pertama di Cina! Yaitu Hukum Tenaga Kerja yang dikeluarkan pada tahun 1995. Terlebih lagi, media memainkan perananan yang semakin besar. Beragam permasalahan, seperti misalnya permasalahan mengenai kualitas produk dan polusi lingkungan yang semakin dicemaskan banyak orang, dan sering didiskusikan baik di surat kabar maupun televisi. Hal ini tentunya akan terus semakin membakar minat publik di bidang etika bisnis menjadi semakin membara.

Sementara itu, reformasi juga diprovokasi oleh minat dari akademisi asing. Sebagai contohnya, kontribusi dari Dr. Tom Sorrel di tahun 1994 (Sorrel et al., 1994), Universitas Essex., dan Dr. Georges Enderle (Enderle, 1993 dan 1994), Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat.

1.4   Stimulus Etika Bisnis

Diantara empat stimulus bagi etika bisnis di hampir dua puluh tahun terakhir, kekuatan pendorong perubahan atau reformasi ekonomi merupakan stimulus yang paling kuat. Tujuan ekonomi yang terbagi, peraturan hukum bisnis baru, peningkatan jumlah pengangguran, masalah serius di bidang lingkungan, dan lain-lain; semuanya membutuhkan diskusi etika, baik bagi mereka yang setuju akan perubahan maupun yang tidak setuju. Selain faktor ini dan pengaruh etika bisnis asing, warisan etika tradisional Cina serta pengaruh filsafat dan etika Marxisme juga perlu ditambahkan.

Di etika tradisional Cina, hubungan antara “Yi” dan “Li” merupakan satu topic lama yang berulang-ulang muncul. “Li” artinya keuntungan atau laba, dan “Yi” merujuk pada prinsip atau norma dalam mendapat dan membagi keuntungan atau laba. Jadi “Yi” sebagai inti atau dasar pemikiran dalam etika tradisional Cina memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan “Li” (Cheng, 1993). Hubungan antara keduanya terlihat dalam pandangan yang mengakar dalam pada Confusius: “Seseorang dengan karakter mulia dapat memahami Yi, tapi seseorang yang dangkal pemikirannya hanya mengenal Li.” Meskipun penganut pandangan Confusius tidak sepenuhnya menentang “Li” dan bermaksud menempatkan “Yi” kedalam “Li” atau untuk mencapai “Li” dengan cara yang bermoral (yang adalah “Yi”), mereka lebih memperhatikan “Yi” ketimbang “Li”. Masyarakat Cina tidak terbiasa, dan bahkan malu, untuk membicarakan “Li.” Dengan berdasar pada “Yi” dan “Li”, dua topik lain pun dikembangkan: “Qun” (kolektif) dan “Ji” (diri sendiri), dan “Li” (alasan) dan “Yu” (hasrat) (Zhang, 1989). Meskipun begitu, dalam berjalannya reformasi ekonomi,  konsep-konsep dasar dan lama mengenai “Yi” dan “Li”, serta “Qun” dan “Ji” dan “Li” dan “Yu”, sekali lagi menjadi topik yang hangat. Hubungan antara “Yi” dan “Li” menjadi pertanyaan sentral dari bisnis dan etika; konsepnya yang sangat berhubungan mempertanyakan “efisiensi” dan “keadilan.” “Hasrat jasmani” dan “persyaratan ideal moral atau spiritual.” Terlebih lagi, topik-topik ini telah berevolusi menjadi beragam permasalahan baik pada level praktek maupun teori. Tentunya lebih dari filsafat dan etika sebelumnya, mereka akan menjadi karakter di bidang etika bisnis.

Pemahaman atas pandangan Marxisme di Cina selalu menitik beratkan pada perubahan moral sejalan dengan perubahan ekonomi, moralitas komunis, karya ideologis, dan peradaban spiritual. Semua penekanan ini memperkuat kecenderungan kepada nilai Yi ketimbang Li, dan menunjukkan dimensi moral pada perubahan atau reformasi ekonomi yang terjadi. Di sisi lain, kecenderungan ini membantu menjaga kesatuan antara “bisnis” dan “etika”; di pihak lain, reformasi atau perubahan itu sendiri menantang pandangan ini dan merangsang masyarakat untuk menggabungkan Yi dan Li pada kondisi pasar yang baru.

1.5   Usaha untuk melembagakan etika bisnis

Pada bulan Februari 1994, Asosiasi Budaya dari Perusahaan  Shanghai dibentuk. Sekarang organisasi tersebut telah memiliki 160 anggota, 80 diantaranya merupakan enterprener. Enterprener ternama, Huang Guancong, adalah presiden pertama organisasi ini. Universitas Fudan mendirikan Pusat Etika Terapan yang memiliki departemen Etika Bisnis di dalamnya. Universitas Bisnis dan Keuangan Cina Selatan juga mendirikan Institut Etika Bisnis.

Fakultas Business Administration Universitas Sudan dan Sekolah Bisnis Internasional Cina-Eropa di Shanghai menawarkan kelas-kelas etika bisnis untuk para mahasiswanya, baik S-1 dan Paska Sarjana. Lebih lanjut, “Program Riset Ilmu Pengetahuan Sosial” yang didanai pemerintah pusat menjadi sarana pendukung finansial bagi studi di bidang etika bisnis; contohnya Institut Etika Bisnis yang menerima dana bantuan untuk risetnya yang bertajuk “Proposal Studi Etika Bisnis selama Periode Sosialis”.

Pertukaran diantara akademisi, diantara akademia dan dunia usaha, dan diantara pelajar Cina dan pelajar asing pada level nasional dan internasional semakin meningkat. Di bulan Oktober 1993, pertemuan yang membahas “Pandangan Sino-Jepang terhadap Etika Praktis” diselenggarakan di Hunan. Di bulan November 1994, Institut Filsafat dari Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Shanghai dan Perusahaan Dongfeng Shanghai menyelenggarakan pertemuan yang membahas etika bisnis bagi akademisi dan orang-orang yang bergelut di dunia bisnis yang lebih lanjut membahas isu-isu yang diantaranya: Apakah warga Cina memang membutuhkan etika bisnis? Apakah yang menjadi isu penting untuk etika bisnis di Cina? Apakah hubungan antara etika bisnis dan perkembangan sosial di Cina? Pada bulan Mei 1995, Pusat Etika Terapan di Universitas Fudan dan Asosiasi Budaya dari Perusahaan  Shanghai mengadakan seminar tentang ide-ide moral di bidang manajemen, peranan moralitas dalam pembuatan keputusan dan manajemen di bawah kondisi pasar, serta status moral dari bisnis-bisnis yang ada. Pada musim semi tahun 1995, Pusat Etika Terapan Universitas Fudan melakukan studi empiris tentang persepsi etika kalangan bisnis di Cina Timur (Wu, 1996). Di bulan Oktober 1996, Konferensi Anti-Korupsi Internasional yang Ketujuh diselenggarakan di Beijing. Pada “Simposium Etika Praktis Sino-Jepang yang Kesembilan” etika bisnis dan hubungannya dengan etika keluarga, etika manajemen, dan etika lingkungan juga dibahas. Pada musim panas tahun 1996, Dewan Riset mengenai Nilai dan Filsafat serta Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Cina bersama menyelenggarakan seminar tentang “Etika Ekonomi Amerika dan Cina”, sedang pada bulan April 1997, “Konferensi Internasional Etika Bisnis Beijing 1997” yang mengumpulkan kurang lebih 150 peserta dari bidang bisnis dan akademis diselenggarakan dibawah arahan dari Institut Filsafat di Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Cina.

Sedangkan tentang publikasi yang dikeluarkan pada dua tahun terakhir, beberapa artikel mengenai perkembangan etika bisnis di Barat (Lu, 1994) muncul bersamaan dengan beberapa terjemahan dari artikel mengenai etika bisnis dunia barat, begitu juga beberapa usaha untuk mengembangkan kerangka etika bisnis berdasarkan sudut pandang Cina (Wang, 1994) telah dilakukan.

2.       Tantangan-tantangan utama terhadap etika bisnis di Cina

2. 1. Permasalahan Utama dalam praktik etika bisnis

2.1.1          Permasalahan sistem ekonomi
Karena reformasi utamanya hanya dalam hal sistem ekonomi, sebagian besar dari permasalahan etis  yang berhubungan pada tingkat sistemik, beberapa diantaranya sangat penting.

Mempertegas peranan pasar sambil terus menjaga peran penting pemerintah di bidang ekonomi. Proses reformasi memerlukan dikuranginya peranan pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi, dan memperkuat pengaturan pasar ekonomi. Namun, karena pemerintah adalah perwakilan dari kekayaan milik Negara, pemerintah seharusnya menjalankan perannya dengan jalan mengambil tanggung jawab manajerial di perusahaan-perusahaan milik Negara ketimbang hanya sekedar mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Terlebih lagi, karena pemerintah adalah target sekaligus pemimpin dari reformasi, maka ia memiliki kesulitan dalam hal bagaimana menghadapi pasar – dan segala permasalahannya yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan.

Menjaga posisi dominan atas hak milik publik sambil tetap memastikan adanya persaingan yang adil. Sebagaimana yang diperlukan pasar, perlu ada diversifikasi kepemilikan. Beragam tipe kepemilikan dapat hidup berdampingan dan berkembang bersama dalam kondisi dimana ada persaingan yang adil. Tetapi, bagaimanapun juga reformasi ditujukan untuk menjaga posisi dominan atas hak milik publik. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana posisi yang dominan dapat dijaga sementara persaingan yang adil dengan segala tipe kepemilikan lainnya bisa dipastikan ada? Bagaimana jalan agar manfaat dari hak-milik-negara dapat ditampilkan sementara persaingan yang adil tetap dijaga dan pihak penguasa administratif tidak menyalahgunakan hak milik tersebut untuk mendesak posisinya yang dominan? Tidak diragukan lagi, ini adalah hal yang sangat sulit.

Membuka pasar tenaga kerja sementara menjunjung tinggi peran utama tenaga kerja terhadap Negara. Dalam proses perubahan sistem ketenagakerjaan dan pembukaan pasar tenaga kerja, ada sekitar seratus juta pengangguran di daerah pedesaan, dan kurang lebih sepuluh juta di perkotaan. Bila perusahaan-perusahaan terus memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja di perkotaan, maka reformasi di perusahaan akan gagal, dan perusahaan yang baru tidak mampu untuk menanggung beban yang berat seperti itu. Lebih lanjut, lebih mudah bagi tenaga kerja dari pedesaan untuk menemukan pekerjaan di kota, karena mereka mau menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja dari perkotaan. Contohnya, pada tahun 1996 Shanghai memiliki dua juta tenaga kerja pengangguran, tetapi dua juta enam puluh ribu pekerjaan ditawarkan kepada tenaga kerja non-lokal.

Memungkinkan beberapa orang dan daerah untuk menjadi lebih kaya dari yang lainnya sambil tetap berbagi kesejahteraan yang setara. Kebanyakan orang berpikir bahwa mengijinkan beberapa orang atau daerah untuk menjadi lebih kaya dari yang lain adalah bukan hal yang salah. Tetapi, mereka sebenarnya peduli tentang siapa yang menjadi kaya, dan dengan jalan apa. Terlebih, apa hubungan yang lebih kaya dengan yang lainnya? Kenapa dan bagaimana masyarakat Cina mencapai tujuan kesejahteraan setara? Apakah membantu yang miskin berarti sama dengan membantu yang terbelakang? Kenapa dan bagaimana orang-orang yang menjadi kaya pertama-tama memberikan kontribusi kepada kesejahteraan yang setara? Apakah yang dimaksud dengan pembagian pemasukan dan kekayaan yang tidak adil, tidak hanya dari segi hukum melainkan juga dari sudut pandang etika? Apakah kaum cendekia dan pejabat pemerintah di jaman Cina kontemporer yang diperlakukan paling tidak adil? Haruskah pemerintah ikut campur dalam hal pembagian, dan menurut kriteria etika yang mana?

Mengadakan sistem jaminan sosial yang adil. Dalam sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat, masyarakat mendapatkan pekerjaan, upah, dan jaminan sosial sekali dan berlaku selamanya. Tetapi sekarang keadaan sudah berubah, pihak yang mempekerjakan dapat memberhentikan pekerjanya; perbedaan upah menjadi lebih kentara; jaminan sosial harus dibagi antara Negara, perusahaan, dan induvidu. Apakah yang dibutuhkan oleh keadilan untuk membagi semua beban ini?

Mencegah pengekonomisasian masyarakat. Dalam lingkup apakah pasar semestinya beroperasi? Dalam lingkup apa sajakah pasar semestinya dikecualikan? Apakah benar untuk berkata, “segalanya adalah demi uang”, ataukah pernyataan ini hanya benar dan berlaku bagi pasar saja? Apakah bekerja di lapangan seperti seni, rumah sakit, dan media berarti sama dengan bekerja di perusahaan yang beroperasi di pasar? Kalau tidak, bagaimana mereka mempertanggung jawabkan keuntungan dan kerugian mereka?

Perkembangan ekonomi berjalan harmonis dengan perkembangan sosial. Sejak tahun 1978, ekonomi domestic Cina telah sangat berkembang. Namun, perkembangan di bidang politik dan budaya tidak berjalan dalam kecepatan yang setara. Jadi sekarang panggilan untuk perkembangan sosial yang harmonis mulai didengar. Tetapi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan “perkembangan sosial yang harmonis”? Apakah masyarakat yang secara alami telah bertumbuh berdasarkan pasar adalah harmonis? Jika tidak, apa yang akan kita jadikan patokan untuk mengenali harmoni itu sendiri? Bagaimana kita bisa menghubungkan perkembangan di bidang politik dan budaya tanpa membahayakan kondisi lingkungan, prasarana, serta ekologi sambil tetap mengembangkan ekonomi? Bagaimana kita bisa terus mengejar tujuan modernisasi tanpa melakukan kesalahan yang sama dengan yang telah dilakukan Negara-negara maju sebelumnya?

Seperti yang telah disebutkan di bagian pertama, topik sentral dari etika bisnis adalah hubungan antara “Yi” dan “Li”, atau antara bisnis dan etika. Topik ini dimanifestasikan sebagai masalah keadilan dan efisiensi pada level sistemik. Apa yang diangkat topik-topik diatas adalah apakah yang perlu dibangun adalah suatu sistem yang merupakan kesatuan dari efisiensi dan keadilan, atau sistem yang merupakan kesatuan antara fungsi dan moralitas. Juga bagaimana cara melaksanakannya. Menurut pandangan saya, adalah tugas dari etika sistem untuk membantu supaya sistem tersebut tadi dapat dicapai.

2.1.2          Permasalahan etika korporasi
Dekade 1990-an menjadi saksi banyaknya korporasi yang bermunculan di daratan Cina. Dengan cepat, masalah etika korporasi akan menjadi pokok dari etika bisnis di Cina, terutama permasalahan di perusahaan milik Negara berukuran besar dan sedang.

Pemisahan antara perusahaan dan pemerintah. Yang dulunya dikenal sebagai Biro-Biro Industri telah diganti dengan grup perusahaan-perusahaan induk, dan komite pengurus kekayaan milik Negara pun telah dibentuk. Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan perusahaan dari pemerintah untuk memperjelas hak milik atas kekayaan untuk membangun satu struktur ekonomi yang berdiversifikasi. Namun, ada pepatah yang mengatakan, “mengganti biro dengan komite itu sama seperti ibu mertua menjadi ibu sendiri”. Tanggung jawab dari komite adalah untuk menjamin dan meningkatkan kekayaan Negara, tetapi apakah yang menjadi hak dari komite? Dan bagaimana mereka semestinya menggunakan hak tersebut? Hubungan seperti apakah yang pantas ada antara komite dengan perusahaan? Apakah perusahaan merupakan agen independen? Apakah yang menjadi tanggung jawab secara etika yang mesti diketahui dan dilakukan oleh perusahaan? Masalah-masalah inilah yang tidak hanya bersifat ekonomi, namun juga bersifat etika.

Tanggung jawab sosial. Perusahaan-perusahaan milik Negara sudah menjadi suatu bentuk masyarakat tersendiri. Atas nama pemerintah, mereka telah terbiasa – hingga sampai saat ini – untuk menanggung beban tanggung jawab bagi semua anggotanya, mulai dari perumahan dan pelayanan pengobatan hingga sampai pembayaran pension. Contohnya, di satu perusahaan kaca, diantara 6000 orang anggotanya, ada 3000 pensiunan pekerja yang biaya pengobatannya mencapai dua juta Yuan per tahunnya (selain berbagai biaya lainnya untuk keperluan mereka, seperti biaya transport, perumahan, dana pension, dll). Dengan beban yang berat seperti itu, bagaimana perusahaan-perusahaan ini dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang beda kepemilikannya?

Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan. Polusi lingkungan merupakan satu masalah yang serius. Dan masih ada beberapa firma bisnis dan pengusaha yang tidak menyadari tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Meskipun beberapa memang sudah menyadari tanggung jawabnya, namun mereka kekurangan dana untuk merekonstruksi bisnis mereka untuk menjadi ramah lingkungan. Melalui beberapa peraturan hukum yang berhubungan dengan masalah ini yang telah dikeluarkan baru-baru ini, mulai lebih banyak orang menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah ini; tetapi bagaimanapunnjuga, masih banyak yang perlu dilakukan baik oleh instansi-instansi bisnis  maupun pemerintah sehubungan dengan masalah ini.

Banyak permasalahan etika yang membingungkan memusingkan para pengusaha. Akan saya sebutkan tiga diantaranya. Yang pertama adalah kualitas produk. Ini menunjukkan kualitas dari perusahaan serta tugas dari pejabat-pejabat pemerintah lokal. Kebanyakan dari perusahan milik Negara berukuran sedang hingga besar menyadari hal ini dan bekerja dengan jujur, meskipun beberapa partner mereka tidak melakukan hal yang sama. Kemudian bagaimana mereka harus bersikap terhadap partner yang berlaku seperti itu? Apakah yang menjadi tanggung jawab pemerintah lokal pada situasi seperti ini? Bagaimanakan hal ini mengembangkan ekonomi lokal dari aspek hukum? Yang kedua adalah hutang segitiga. Untuk menduduki pasar-pasar tertentu, beberapa perusahaan – di  luar kemauan mereka – berhutang dalam jumlah yang sangat besar. Untuk kasus ini, mereka lebih memprioritaskan efisiensi ketimbang pertimbangan moral. Apakah mereka dapat dibenarkan? Dan jika tidak benar, jadi apa yang seharusnya mereka lakukan? Yang ketiga adalah berikut ini: Pada situasi yang sulit, haruskan mereka menolong partner mereka? Biasanya mereka akan menjawab “ya”. Tetapi, haruskah mereka melakukannya di dalam situasi dimana bantuan ini – yang akan mereka berikan – akan menguntungkan perusahaan mereka sendiri, yang artinya mementingkan pegawai dan pemegang saham mereka? Perkembangan sistem korporasi kontemporer membawa peningkatan jumlah masalah di level perusahaan meskipun beberapa diantaranya selalu membawa hubungan dengan peraturan dari sistem ekonomi.

2.1.3          Permasalahan etika dari manajemen
Sejumlah besar permasalahan muncul pada tahap ini: perlakuan berbeda dari pegawai yang berbeda; manajer umum (general manager) melawan manajer-manajer / kepala-kepala bagian; tenaga kerja lokal dan non-lokal; hubungan antara pria dan wanita; mempertahankan integritas pribadi di dalam pasar yang kompetitif; dilema di antara “etika yang baik” dan “bisnis yang baik”; karirisme, dll.

2.1.4          Permasalahan Hubungan Bisnis Internasional
Kebijakan “Pintu Terbuka” bertujuan untuk memelihara investasi asing. Namun, kebijakan tersebut melibatkan hal-hal yang semestinya dipahami oleh kedua belah pihak, baik masyarakat Cina maupun asing (sebagai contoh, pengamatan yang menarik bisa ditemukan di De George, 1993, chapter 8).

Mendukung perusahaan asing sambil terus mengembangkan industri nasional Cina sendiri. Apakah perusahaan asing mesti didorong untuk menduduki pasar yang sebelumnya dipegang oleh perusahaan-perusahaan nasional Cina? Apakah memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan asing sementara perusahaan nasional tidak menerima perlakuan yang sama adalah hal yang baik dan adil? Jika ya, bagaimana perusahaan-perusahaan Cina  dapat bersaing dengan perusahaan asing, dengan menilik fakta bahwa teknologi dan kemampuan manajemen mereka sering tertinggal dibelakang perusahaan asing?

Mencari teknologi modern dan bersaing dengan bisnis internasional. Kadang terjadi, beberapa investor asing memasok teknologi yang tidak terlalu modern, atau bahkan teknologi yang sudah ketinggalan jaman; mereka menggantikan yang lama dengan yang baru, yang jelek dengan yang bagus dan harga-rendah dengan harga-tinggi. Menurut criteria apakah Cina semestinya memisahkan antara yang investasi asing yang “baik” dan “buruk”?

Mencari modal asing dan perlindungan tenaga kerja. Kebanyakan dari permasalahan etika yang serius dan mendesak disebabkan antara lain oleh kondisi ketenaga kerjaan yang buruk dan tidak dapat diterima, pekerjaan yang intens dengan bayaran rendah, dan penghinaan terhadap pekerja. Meskipun telah ada Hukum Ketenaga Kerjaan yang mencakup peraturan-peraturan tentang perlindungan tenaga kerja, beberapa pejabat pemerintah hanya sekedar mencari investor asing tanpa memperhatikan peraturan-peraturan ketenaga kerjaan yang sudah ada tadi. Oleh karenanya, timbul pertanyaan: apakah modal asing lebih berharga dibanding pertimbangan moral masyarakat?  Bagaimana dengan kewajiban pejabat pemerintah untuk tunduk terhadap peraturan yang berlaku? Yang manakah yang termasuk kejahatan yang lebih kecil: Perlakuan yang buruk terhadap pekerja, atau tidak ada pekerjaan sama sekali?

Merekonsiliasi persaingan antara perusahaan Cina dan kebudayaan Cina kolektif. Sayangnya, pengamatan seorang penulis Barat yang tertulis berikut adalah benar adanya: “Di satu sisi, perusahaan-perusahaan Cina melihat satu sama lain sebagai musuh, karena mereka berbagi pasar yang sama; ini adalah satu permainan ‘zero-sum’ dimana keuntungan yang didapat satu pihak berarti kehilangan bagi pihak yang satunya. Di sisi lain, kebudayaan kolektif mendesak mereka untuk membangun hubungan yang dapat diperpanjang ke kompetitornya.” Atau seperti yang disebut oleh orang Cina, “Jadi investor ‘banteng’ yang optimis dan memprediksikan kenaikan pasar, dan saling bunuh!” Contohnya, ada lebih dari 1000 perusahaan Cina yang mengekspor sepatu ke luar negeri. Karena ada desentralisasi, setiap perusahaan mempunyai hak untuk mengekspor produknya, dan setiap perusahaan bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian mereka. Oleh karena itulah ada kompetisi ganas diantara mereka, dan mereka mesti menjawab tantangan itu. Bagaimana mereka mendamaikan tanggung jawab mereka terhadap perusahaan dan terhadap Negara? Meskipun mereka memiliki sedikit pengalaman tentang cara-cara barat kontemporer untuk berbisnis, mereka tetap perlu mempelajari dan mempertimbangkan praktek-praktek baru ini ketika mereka memasuki pasar internasional.

Semua permasalahan dan tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh kaum pebisnis Cina, tetapi juga oleh para akademisi yang semestinya memeriksa dan mempelajarinya secara mendalah dan mengambil langkah lebih jauh dari sekedar mendiskusikan perubahan pasar dalam konteks umum.

2.2   Permasalahan teoritis dari etika bisnis
 Tantangan sentral bagi etika bisnis di Cina adalah untuk mengembangkan satu teori yang memiliki relevansi tinggi yang membantu menganalisa serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi para pelaku ekonomi pada level sistemik, organisasional, dan individual. Dalam lapangan etika bisnis yang baru muncul ini, seseorang dapat membedakan permasalahan-permasalahan dan pendekatan-pendekatan yang beragam yang masih jauh dari pembentukan atas satu badan pengetahuan yang koheren. Ada beberapa pertanyaan yang sangat penting:

Argumen tentang etika bisnis sebagai satu disiplin ilmu.  Apakah etika bisnis itu? Semacam etika terapan? Satu pendekatan interdisipliner?

Kerangka etika bisnis. Menurut criteria apakah etika bisnis semestinya dibentuk? Apakah menurut lima aktifitas kerja; manajemen, produksi, sirkulasi, distribusi, dan konsumsi? Ataukah menurut level-level yang beragam dari tindakan manusia: sistemik (makro), organisasional (meso), atau individual (mikro)?

Kekuatan pendorong etika bisnis. Mengapa kaum pebisnis mesti berlaku menurut etika? Apa yang menjadi kekuatan pendorong dari praktik etika?

Argument yang mendukung dan menentang ekonomi pasar. Apakah ekonomi pasar dapat dibenarkan? Haruskah ekonomi pasar dibenarkan dan terus dikejar? Kondisi etis, legal, dan ekonomis seperti apakah yang diperlukan oleh ekonomi pasar?

Prinsip-prinsip moral dalam bisnis. Perlukah moralitas komunis digantikan dengan moralitas utilitarianisme? Perlukah utilitarianisme dan altruisme digabungkan? Bagaimana dengan egoisme?

Norma-norma etika bisnis. Apakah spesifikasi dari norma etika bisnis dibandingkan dengan norma etika “murni” dan jenis-jenis lain dari etika terapan?
Apakah layak untuk dikatakan bahwa ada suatu konsensus sehubungan dengan isu-isu berikut:
-          Ekonomi pasar mendesak pengaruh positif dan negative terhadap hal-hal lain, wilayah non-ekonomis dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
-          Reformasi sistem ekonomi semestinya bertujuan untuk mengurangi kekuasaan pejabat-pejabat pemerintah untuk campur tangan di perusahaan-perusahaan, dan reformasi juga semestinya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pejabat-pejabat pemerintah kepada perusahaan.
-          Perkembangan ekonomi seharusnya berjalan harmonis dengan perkembangan sosial, yang membutuhkan regulasi-makro (cf. diskusi bermutu di Liu, 1993).
-          Prinsip-prinsip berikut seharusnya menjadi pedoman dalam mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan sosial: meningkatkan kekuatan produktif, meningkatkan kekuatan nasional yang telah dipersatukan, dan membawa keuntungan kepada kehidupan masyarakat.
-          Perbedaan dalam distribusi pendapatan diantara anggota masyarakat seharusnya disadari; efisiensi harus dipelihara; perkembangan ekonomi harus membawa keadilan dan kesejahteraan umum.

3.       Etika bisnis dan perkembangan sosial di Cina

Ada pepatah yang berkata bahwa abad ke 21 akan menjadi sebagai abad milik Cina (Wong, 1995). Namun, saya kira seharusnya tidak ada abad yang khusus menjadi milik masyarakat tertentu. Supaya yakin, pencapaian Cina di abad berikutnya akan sangat bergantung kepada keputusan-keputusan yang diambilnya saat ini. Masih ada banyak masalah serius di Cina, seperti yang ditunjukkan oleh Kenneth Lieberthal (Lieberthal, 1995): Inflasi, korupsi, migrasi ke kota-kota besar, perbedaan kekayaan yang semakin meningkat, jumlah pengangguran yang besar, dan besarnya dampak sosial dari proyek konstruksi urban besar-besaran adalah sedikit diantaranya. Masalah-masalah ini memerlukan solusi yang adil dan berkelanjutan, yang tidak dapat diperoleh hanya melalui cara-cara ekonomi. Jadi etika bisnis diperlukan untuk membangun Cina yang stabil dan maju.

Etika bisnis di Cina harus memiliki fokus yang kuat kepada reformasi sistem ekonomi yang menggabungkan efisiensi dan keadilan. Lebih lanjut, karena perusahaan adalah unit dasar dari produksi dan mereka menjadi pelaku ekonomi independen, etika korporasi pun menjadi penting.

Pelaksana bisnis menghadapi beragam dilema etika sambil terus dipengaruhi oleh etika tradisional Cina. Untuk bisa memahami “Li”, seseorang mesti mempertimbangkan “Yi”. Tetapi, pedoman umum ini sangat memerlukan spesifikasi dan penjelasan yang seharusnya disediakan oleh studi etika bisnis.

Etika bisnis adalah lapangan dimana etika yang baru sedang dalam proses pembuatan. Perubahan-perubahan dramatis dari ekonomi yang terencana secara sentral menjadi ekonomi pasar melibatkan perubahan kultural yang radikal dan juga perubahan terhadap etika. Beberapa ide lama mengenai etika-etika atau norma-norma mulai digantikan dengan yang baru. Semua perubahan ini akan berlangsung lama dan mempengaruhi keseluruhan budaya etika Cina (Liao, 1995).

Karena bisnis di Cina semakin terjalin dan terhubung dengan bisnis internasional, ia memerlukan satu bahasa internasional umum. Ini nantinya akan meningkatkan pemahaman terhadap pandangan-pandangan politik dan masyarakat yang berbeda serta membantu perkembangan sosial di Cina.

4.       Pertukaran ide dan pengalaman dengan Negara lain

Dalam perjalanan menuju perubahan yang beriorientasi kepada pasar, Cina telah memilih “Jalan Berkarakter Cina” miliknya yang membedakannya dari Negara maju, Negara berkembang, dan juga mantan Negara sosialis. Namun, Cina bisa mempelajari banyak hal dari Negara-negara lain, tidak hanya dari pengalaman dan pencapaian mereka di pasar tetapi juga dari pekerjaan mereka di bidang etika bisnis. Dari literatur etika bisnis yang luas, saya hanya dapat menunjukkan secara singkat beberapa isu sebagai berikut:

Menganggap serius dimensi etika dari bisnis. Bisnis bukanlah suatu aktifitas yang netral secara moral. W. Michael Hoffman dan Robert E. Frederick (Hoffman et. al., 1995) menuliskan bahwa, “Memang benar bahwa tujuan dari bisnis adalah laba, tetapi proses mendapatkan laba bukanlah satu aktifitas yang netral secara moral. Menurut tradisi, kita telah mendorong bisnis untuk mengejar laba karena kita yakin bahwa pencarian laba tidak melanggar hak apapun dan merupakan hal yang terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam dua dekade terakhir, muncul keberatan terhadap kepercayaan bahwa bisnis secara keseluruhan memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan umum”. Kami, masyarakat Cina, seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dampak ekonomi pasar terhadap moralitas dan hubungan hubungan timbal balik keduanya. Melainkan juga menguji bisnis itu sendiri dari perspektif etis, contohnya dimensi etika dari bisnis yang tidak datang dari luar, melainkan sesuatu yang bersifat internal, komponen yang bertalian dengan bisnis itu sendiri. Kita seharusnya peduli dengan cara etis untuk mendapat keuntungan, atau cara Yi menuju Li.

Mendefinisikan dan menanggung beragam tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas etika dari bisnis. Setiap pelaku ekonomi memiliki, dan beroperasi dalam, ruangannya sendiri dimana ia membuat keputusan dan mengambil tindakan, yang dibatasi oleh berbagai kondisi. Seseorang tidak semestinya melemparkan tanggung jawabnya kepada pelaku ekonomi lainnya, begitu juga tanggung jawab semestinya tidak disingkirkan dari satu level ke level lainnya. Pertanyaan fundamental yang perlu diajukan bukanlah “Apa yang harus dilakukan oleh individu dan perusahaan lain, serta ekonomi nasional?” melainkan apa yang seharusnya saya pribadi lakukan, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan dan Negara, dimana saya menjadi anggotanya, untuk mengetahui dan melaksanakan kewajiban etis pada level-level perilaku yang berbeda? (Enderle, 1993)

Untuk mempelajari strategi dan metode untuk menganalisa dimensi etis dari pengambilan keputusan dalam bisnis secara kongkrit. Karena permasalahan etika bisnis kebanyakan adalah kongrit dan spesifik, alat untuk menganalisanya perlu dikembangkan untuk bisa mengatasi permasalahan-permasalahan kompleks ini. Satu pendekatan yang merangsang adalah milik Marvin T. Brown Proses Etika (Brown, 1996).

Mengembangkan etika bisnis dengan berdasar kepada budaya tradisional milik Negara sendiri. Literatur etika bisnis menawarkan banyak pendekatan yang menarik, beberapa yang ingin saya sebutkan dengan singkat antara lain: John W. Houck dan Oliver Williams: Nilai-Nilai Penuh (1978); S.K. Chakraborty: Manajemen Menurut Nilai (1991); Ryuzaburo Kaku: Kyosei – Satu Konsep Yang Akan Memimpin Abad ke-21 (1995).

Sumber : http://www.confucian.me/profiles/blogs/perkembangan-etika-bisnis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar