Artikel pendek ini berisi identifikasi
beberapa persoalan krusial yang menurut penulis perlu dicermati dan
diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL) perusahaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74
ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Persoalan krusial tersebut adalah (a) batasan atau luas
lingkup perseroan yang wajib melaksanakan TJSL (b) sinkronisasi dan
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi TJSL
(c) sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak melaksanakan TJSL, dan (d)
keterkaitan antara TJSL dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
yang khusus berlaku untuk perusahaan berupa BUMN. Identifikasi beberapa
persoalan di atas disertai dengan analisis singkat dengan memerhatikan
isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 tentang permohonan
uji formil dan materiil Pasal 74 UU PT terhadap UUD 1945.
B. Definisi dan Luas Lingkup TJSL
Pasal 1 Nomor 3 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT)
tampaknya menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(TJSL) sebagai terjemahan dari istilah Corporate Social Responsibility
(CSR) untuk konteks perusahaan dalam masyarakat Indonesia, dan
mengartikannya sebagai "komitmen perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas
setempat, maupun masyarakat pada umumnya".
Dalam literatur manajemen perusahaan
banyak sekali ditemukan tulisan tentang CSR atau TJSL baik untuk
konteks masyarakat Indonesia maupun asing. Pada tingkat paling dasar
namun sekaligus sangat luas, CSR dapat dipahami sebagai sebuah relasi
atau interkoneksi antara perusahaan dengan para pemangku kepentingan
perusahaan tersebut, termasuk misalnya dengan pelanggan, pemasok,
kreditur, karyawan, hingga masyarakat khususnya mereka yang berdomisili
di wilayah perusahaan tersebut menjalankan aktivitas operasionalnya.
Perusahaan bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan
operasionalnya mampu menghasilkan barang dan/atau jasa secara ekonomis,
efisien, dan bermutu untuk kepuasan pelanggan disamping untuk
memperoleh keuntungan. Perusahaan juga berkewajiban untuk mematuhi
hukum dan seluruh peraturan perundang-undangan nasional dan daerah yang
berlaku di dalam wilayah negara seperti misalnya mematuhi aturan hukum
ketenagakerjaan, persaingan usaha yang sehat, perlindungan terhadap
konsumen, perpajakan, pelaporan aktivitas perusahaan, dan seterusnya
termasuk juga untuk mematuhi hak-hak asasi manusia dan asas pengelolaan
lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan.
Konsep CSR atau TJSL memperluas
kewajiban perusahaan tersebut dengan kewajiban untuk peduli terhadap
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal di mana perusahaan tersebut
berdomisili dan/atau menjalankan aktivitas operasionalnya. Kewajiban
terakhir ini dapat dilakukan perusahaan melalui berbagai bentuk
kegiatan yang idealnya cocok dengan strategi dan business core dari perusahaan itu sendiri. Misalnya, pemberdayaan ekonomi rakyat berupa membina usaha-usaha mikro,
kecil, dan menengah; penyediaan hingga pelayanan kesehatan dan
pendidikan masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum, dan
sebagainya. Bahkan, deretan kegiatan sebagai wujud dari CSR atau TJSL
inipun masih dapat ditambah bila kita memasukkan aneka kegiatan yang
bersifat karitatif di dalamnya, seperti menyantuni anak yatim piatu,
menolong korban bencana alam, dan sebagainya.
Jadi, pada prinsipnya CSR bertujuan
agar perusahaan dapat memberi kontribusi untuk kemajuan atau
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada poin inilah tampak
nyata bahwa pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan
hukum maupun yang bukan berbadan hukum ‘diminta’ untuk bersama-sama
dengan Pemerintah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat sebab
perusahaan juga secara etis moral dinilai memiliki tanggung jawab
sosial terhadap lingkungan dan masyarakat. Tugas nasional ini tidak
lagi dipandang sebagai tanggung jawab negara semata-mata untuk
melaksanakannya, walaupun memang masih dapat dikaji lebih mendalam
menyangkut sampai seberapa jauh sebenarnya perusahaan dapat diminta
untuk memikul tanggung jawab mulia itu bila dibandingkan dengan
kewajiban negara. Di sisi lain, CSR atau TJSL juga sebenarnya memberi
manfaat bagi perusahaan yang melaksanakan. Manfaat itu misalnya CSR
mampu menciptakan brand image bagi perusahaan di tengah pasar yang kompetitif sehingga pada gilirannya nanti akan mampu menciptakan customer loyalty dan membangun atau mempertahankan reputasi bisnis. Kemudian, CSR juga dapat membantu perusahaan untuk mendapatkan atau melanjutkan license to operate
dari Pemerintah maupun dari publik sebab perusahaan akan dinilai telah
memenuhi standar tertentu dan memiliki kepedulian sosial. Singkat kata, CSR memang dapat menjadi semacam iklan bagi produk perusahaan yang bersangkutan.
C. TJSL Sebagai Kewajiban Hukum
Konsep CSR atau TJSL di berbagai negara
asing, utamanya negara-negara industri maju, dianggap sebagai sebuah
konsep yang berdimensi etis dan moral sehingga pelaksanaannya pun oleh
perusahaan pada prinsipnya bersifat sukarela bukan sebagai suatu
kewajiban hukum. Di Indonesia, konsep TJSL justru dijadikan sebagai
sebuah kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh perusahaan, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (1) UU PT. Pasal yang mewajibkan
perseroan melaksanakan TJSL ini telah dimohonkan untuk diuji secara
formil dan materiil terhadap UUD 1945 di depan Mahkamah Konstitusi,
dengan dalil bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Para pemohon uji materiil
berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (1) hingga (3) yang mewajibkan TJSL
bagi perseroan telah (a) bertentangan dengan prinsip dasar TJSL atau
CSR yaitu kesuka-relaan (b) membebani perseroan secara ganda yaitu
kewajiban membayar pajak dan menanggung biaya TJSL atau CSR (c)
meniadakan atau setidaknya menafikan konsep demokrasi ekonomi yang
berintikan pada efisiensi berkeadilan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, sehingga pada akhirnya justru akan
mengakibatkan program TJSL atau CSR menjadi hanya sebatas formalitas
belaka yang pada akhirnya akan menimbulkan sifat ketergantungan.
Ternyata, terhadap dalil hukum di atas
Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat berbeda sehingga MK menolak
permohonan uji materiil tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28I ayat (2) jo
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dikatakan oleh para hakim MK bahwa, pertama,
menjadikan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74
merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan
menerapkan TJSL dengan suatu sanksi, dan hal ini adalah benar, karena:
- Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.
- Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain, utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya tetapi juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi perusahaan yang akan go public. Dengan kata lain, MK tampaknya berpendapat bahwa sesuai kultur hukum Indonesia, penormaan TJSL sebagai norma hukum yang diancam dengan sanksi hukum merupakan suatu keharusan demi tegaknya TJSL atau CSR.
- Menjadikan TJSL sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang TJSL oleh perseroan sebagaimana dapat terjadi bila TJSL dibiarkan bersifat sukarela. Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Pasal 74 tidak menjatuhkan pungutan ganda kepada
perseroan sebab biaya perseroan untuk melaksanakan TJSL berbeda dengan
pajak.
Lebih jauh, disebutkan oleh MK bahwa pelaksanaan TJSL didasari oleh
kemampuan perusahaan, dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran, yang
pada akhirnya akan diatur lebih lanjut oleh PP. Demikian pula tentang
sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (3) yang merujuk pada sanksi hukum yang
terdapat pada perundang-undangan sektoral merupakan rumusan yang tepat
dan justru memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT
menetapkan sanksi tersendiri. Jadi, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan para pemohon yang
mengatakan adanya berbagai pasal dalam perundang-undangan yang juga
mengatur tentang TJSL mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan tumpang
tindih sehingga tidak dapat mewujudkan TJSL yang efisien berkeadilan.
Khusus tentang perundang-undangan yang tumpang tindih ini akan penulis
bahas pada bagian 4 dari artikel ini.
Ketiga,
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang mewajibkan
pelaksanaan TJSL oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep
demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti
diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL
sekedar formalitas perusahaan saja, sebab:
- prinsip demokrasi ekonomi memberi kewenangan kepada Negara untuk tidak hanya menguasai dan mengatur sepenuhnya kepemilikan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, serta untuk memungut pajak semata, melainkan juga kewenangan untuk mengatur pelaku usaha agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.
- pelaksanaan TJSL menurut Pasal 74 tetap akan dilakukan oleh perseroan sendiri sesuai prinsip kepatutan dan kewajaran, Pemerintah hanya berperan sebagai pemantau. Dengan demikian, tak perlu dikhawatirkan akan terjadi penyalah-gunaan dana TJSL ataupun membuat perseroan melaksanakan TJSL hanya sebagai formalitas belaka.
- pengaturan TJSL dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi rakyat.
D. Batasan Perseroan Yang Wajib Melaksanakan TJSL
Dari rumusan Pasal 74 ayat (1) UU PT
tampaknya pembuat undang-undang seperti bermaksud untuk ‘membatasi’
perseroan yang diwajibkan melaksanakan TJSL, yaitu dengan menyebut
‘perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam’. Frasa ini kemudian, dalam bagian
Penjelasan dari ayat yang bersangkutan, dijelaskan sebagai perseroan
yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam,
dan/atau perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber
daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan
sumber daya alam.
Apakah dengan demikian Pasal 74 Ayat
(1) tersebut tidak bersifat diskriminatif sebab hanya mewajibkan TJSL
kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Artinya, perseroan yang
kegiatan usahanya tidak berhubungan dengan sumber daya alam, termasuk
badan usaha yang bukan berupa perseroan yaitu Koperasi, CV, Firma, dan
Usaha Dagang, dibebaskan dari kewajiban melakukan TJSL? Hal inilah yang
juga menjadi dalil dari para pemohon hak uji materiil Pasal 74 UU PT
kepada Mahkamah Konstitusi seperti disebut di atas.
Tentang isu di atas, ternyata MK
berpendapat bahwa (a) pengaturan secara khusus atau berbeda oleh
Pemerintah, melalui Pasal 74 ayat (1) UU PT, bagi perusahaan yang
berusaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam adalah
sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga dapat dibenarkan (b)
sebenarnya terhadap badan usaha yang tidak berbentuk perseroan,
misalnya Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang pun juga tetap terkena
kewajiban untuk melaksanakan TJSL berdasarkan Pasal 15 dari
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pada poin ini penulis berpendapat bahwa
baik Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT maupun rasionale Hakim Mahkamah
Konstitusi di atas MK belum cukup memberikan batasan yang tegas tentang
perseroan dengan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam yang bagaimana saja yang wajib melakukan TJSL. Hal ini
disebabkan definisi dan luas lingkup dari kegiatan usaha yang mengelola
dan memanfaatkan sumber daya alam (SDA), dan/atau yang berdampak pada
fungsi kemampuan SDA sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 74 ayat
(1) UU PT dapat ditafsirkan secara luas tergantung pada klasifikasi
dari SDA itu sendiri.
SDA dapat diklasifikasi berdasarkan
jenisnya yaitu hayati seperti tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan non
hayati dengan contoh bahan tambang, air, udara, bebatuan.
SDA juga dapat diklasifikasi berdasarkan sifatnya yaitu SDA yang dapat
dibaharui, misalnya air, tumbuhan, hewan, hasil hutan; dan SDA yang tak
dapat dibaharui seperti minyak bumi, batubara, timah, gas alam. Adapula
SDA yang tak terbatas jumlahnya seperti sinar / tenaga surya, air laut,
dan udara. Kemudian, SDA bila dilihat dari kegunaan dan
penggunaan/pemanfaatannya ada yang disebut SDA penghasil bahan baku
seperti hasil hutan, barang tambang, hasil pertanian; dan SDA penghasil
energi semisal ombak, panas bumi, arus sungai, tenaga surya, minyak
bumi, gas bumi, dsbnya. Persoalannya sekarang, SDA sesuai dengan
klasifikasi apa yang dimaksud oleh pembuat UU melalui rumusan Pasal 74
ayat (1) dan Penjelasannya itu?
Apakah perseroan yang harus tunduk pada
pasal tersebut hanyalah yang bergerak di bidang pertambangan saja,
ataukah juga mereka yang bergerak di bidang hasil hutan, hasil
pertanian, hasil perkebunan, hasil perikanan dan seterusnya? Bagaimana
dengan perseroan yang berusaha dibidang ketenaga-listrikan yang
bersumber pada tenaga surya, apakah juga wajib melaksanakan TJSL?
Apakah perseroan yang usahanya memanfaatkan SDA yang bersifat hayati
seperti usaha pemanfaatan tumbuhan, hewan, mikro organisme juga harus
tunduk pada Pasal 74 ayat (1)?
Pembatasan arti terhadap frasa
“mengelola dan memanfaatkan SDA” dan/atau “berdampak pada fungsi
kemampuan SDA” sebagaimana tercantum dalam Penjelasan dari Pasal 74
ayat (1) menjadi amat penting, karena penafsiran yang luas akan dapat
menjaring sebagian besar perseroan, padahal mungkin saja bukan itu
maksud semula dari pembuat UU. Secara sederhana, masyarakat awam
ataupun kalangan pengusaha mengartikan bahwa perseroan yang dimaksud
oleh pasal itu adalah yang bergerak di bidang pertambangan saja. Namun,
apakah memang benar demikian maksudnya?
Oleh karena itu, tak berlebihan kiranya
bila nanti Pemerintah hendak menerbitkan PP sebagai tindak lanjut dari
perintah dalam Pasal 74 ayat (4), persoalan tentang cakupan dan batasan
dari pengertian perseroan yang wajib melakukan TJSL menurut Pasal 74
ayat (1) menjadi amat penting. Jangan sampai isi PP itu justru
menafsirkan secara ekstensif pasal tersebut sehingga sepertinya justru
menambah atau melampaui maksud awal pembuat UU, tetapi jangan pula
sebaliknya.
E. Penyebaran Pengaturan Tentang TJSL Perusahaan Dalam Perundang-undangan
Secara eksplisit TJSL perusahaan memang
diatur dalam Pasal 74 UU PT dan juga disebut secara tegas dalam Pasal
15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Namun, bila konsep CSR atau TJSL diartikan pula sebagai kewajiban
perusahaan untuk misalnya mematuhi berbagai kewajiban hukum atau
larangan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
(perundang-undangan) sektoral, maka ditemukan beberapa UU yang beberapa
pasalnya juga mengatur tentang TJSL. Berikut ini contoh beberapa UU
yang memiliki pasal-pasal yang mengatur soal kewajiban pelaku usaha
(perorangan atau badan usaha) untuk melakukan tindakan tertentu atau
untuk tidak melanggar larangan tertentu menurut masing-masing UU:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya Pasal 47 ayat (3), 52, dan 83.
2. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 30, 32, 48 ayat (3), dan 50 ayat (2).
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 40 ayat (2), (3), dan ayat (5).
Tersebarnya penormaan TJSL dalam
berbagai perundang-undangan tersebut secara tersirat juga diperkuat
oleh rumusan Pasal 74 ayat (3) UU PT beserta Penjelasannya yang
menyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang terkait. Adanya anak kalimat terakhir inilah yang mempertegas
bahwa soal TJSL memang sesungguhnya juga diatur dalam beberapa UU
tersebut di atas.
Banyaknya perundang-undangan selain UU
PT dan UU Penanaman Modal, yang juga mengatur tentang konsep yang
kurang lebih identik dengan TJSL juga menjadi salah satu alasan bagi
para pemohon hak uji materiil Pasal 74 khususnya ayat (3) UU PT kepada
Mahkamah Konstitusi. Mereka menyebutkan bahwa fakta tersebut
memperlihatkan tumpang tindih penormaan TJSL dalam perundang-undangan
di Indonesia dengan beragam sanksi sehingga menimbulkan ketidak-pastian
hukum.
Namun, dalil hukum inipun oleh MK ditolak dengan menyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan sektoral yang dirujuk oleh Pasal 74 ayat
(3) UU PT dalam konteks penjatuhan sanksi bagi perseroan yang tidak
menjalankan kewajiban TJSL, justru tepat dan lebih memberikan kepastian
hukum, bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri.
Pada poin ini penulis berpendapat bahwa pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sepenuhnya tepat.
Fakta memperlihatkan bahwa walaupun beberapa UU sektoral di atas dalam
beberapa pasalnya mengatur tentang kewajiban bagi perusahaan untuk
misalnya: tidak merusak lingkungan hidup, tidak merusak sumber daya
air, harus mengelola lingkungan hidup dengan baik dan berkelanjutan dan
mensejahterakan masyarakat lokal, dan seterusnya yang oleh Pasal 74
ayat (3) UU PT diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang
juga mewajibkan perseroan melaksanakan TJSL, tetapi hal tersebut
sesungguhnya tidak disertai dengan pasal-pasal yang mengatur tentang
sanksi.
Artinya, UU di atas tidak seluruhnya mengatur soal sanksi bagi
perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban yang telah diamanatkan dalam
pasal-pasal sebelumnya. Kekosongan soal ketentuan sanksi ini dapat
menimbulkan persoalan yang cukup rumit mengingat bahwa Pasal 74 ayat
(3) UU PT justru merujuk pada sanksi hukum dalam UU terkait bila sebuah
perseroan tidak melaksanakan kewajiban TJSL. Bagaimana sanksi itu akan
diterapkan bila dalam UU terkait itu sendiri tidak diatur soal sanksi.
Memang, selalu ditemukan adanya
ketentuan pidana atau sanksi dalam seluruh UU di atas, namun harus
diperhatikan bahwa pasal ketentuan pidana tersebut tidak selalu
berkorelasi dengan pasal yang berisi kewajiban melakukan TJSL.
Ketentuan pidana tersebut banyak yang berupa sanksi untuk pelanggaran
dari kewajiban lain yang bukan tergolong sebagai TJSL. Berikut ini
beberapa contoh:
- Dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana atau sanksi, hanya ditujukan untuk pelanggaran terhadap pasal-pasal yang sebenarnya tidak berkait dengan TJSL perusahaan. Hanyalah Pasal 52 yang isinya berkait dengan TJSL yang kemudian disertai dengan Pasal 94 dan Pasal 95 yang berisi sanksi atau ketentuan pidana dengan ancaman pidana penjara dan denda bagi badan usaha yang terbukti tidak memenuhi kewajiban Pasal 52 tersebut. Sedangkan Pasal 47 ayat (3) dan Pasal 83 yang sesungguhnya juga berisi ketentuan berkaitan dengan TJSL perusahaan, justru tidak disertai dengan pasal tentang sanksi.
- Dalam Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, pasal tentang sanksi atau ketentuan pidana malah sama sekali tidak berkorelasi dengan pasal-pasal yang berisi TJSL, melainkan sanksi tersebut ditujukan untuk pasal-pasal lain dalam UU tersebut. Misalnya, Pasal 40 ayat (2), ayat (3) dan (5) yang jelas-jelas identik dengan TJSL perusahaan justru tidak disertai dengan pasal sanksi bilamana terjadi pelanggaran terhadap Pasal 40 tersebut.
- Dalam Undang-Undang tentang Kehutanan, juga ditemukan hal yang serupa seperti dalam UU tentang Minyak dan Gas Bumi. Artinya, pasal-pasal tentang TJSL perusahaan justru tidak dilengkapi dengan ketentuan perihal sanksi hukum, sebaliknya ketentuan tentang sanksi, khususnya pidana, judtru ditujukan untuk berbagai pelanggaran yang bukan tergolong sebagai bentuk dari TJSL perusahaan.
Jadi, bila Pasal 74 ayat (3) UU PT
dipandang oleh Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai sudah tepat dan
memberi kepastian hukum, penulis justru meragukan hal tersebut. Sanksi
hukum yang oleh pasal itu dianggap pasti ada, faknya tidak selalu
demikian. Akibatnya, tetap menimbulkan pertanyaan: bagaimana akan
menegakkan aturan tentang kewajiban TJSL perusahaan berdasarkan UU
sektoral bila di dalam UU itu tidak ditemukan aturan tentang sanksi
hukumnya. Persoalan tentang tidak lengkapnya aturan mengenai sanksi
hukum ini sebaiknya harus diantisipasi dalam PP khusus tentang
pelaksanaan TJSL perusahaan.
Penting untuk dikaji secara mendalam
apakah sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban hukum
untuk melaksanakan TJSL harus berupa sanksi pidana ataukah justru
sebaiknya berupa sanksi yang bukan sanksi pidana. Misalnya saja, sanksi
tersebut dapat berupa penundaan, penghentian atau pencabutan insentif
atau subsidi; sebaliknya bila perusahaan memenuhi kewajiban melakukan
TJSL maka terhadapnya Pemerintah memberikan semacam rewards
berupa insentif, subsidi, diskon atau pemotongan pajak, atau
sejenisnya. Dengan kata lain, sudah saatnya Pemerintah memikirkan
secara serius kemungkinan untuk menerapkan bentuk sanksi hukum yang
lebih tepat bagi pelaku usaha, dan sebaliknya menjajaki kemungkinan
untuk memberikan penghargaan bagi mereka yang mematuhi hukum. Hal ini
diduga akan lebih efektif untuk mendorong perusahaan menjalankan
kewajiban TJSL, dan berdampak positif bagi perkembangan dunia usaha
serta perekonomian nasional secara keseluruhan. Untuk ini sudah saatnya
para ahli hukum dan ekonomi bekerja bersama mengembangkan studi dan
metode pendekatan economic analysis of law.
F. TJSL Perusahaan dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
Selain ketentuan tentang TJSL
perusahaan (khususnya Perseroan) dalam UU PT, ada pula konsep yang
kurang lebih sama dengan TJSL tetapi khusus hanya diwajibkan untuk
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik berupa Persero, termasuk di
dalamnya Persero Terbuka, maupun Perum, yaitu Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan (PKBL). Sumber hukum dari PKBL ini adalah Peraturan
Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN
Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Peraturan menteri ini
merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
BUMN, khususnya Pasal 88.
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar
menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba
BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan
kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari
bagian laba BUMN. Jadi, bila di lihat dari dampak yang diharapkan
timbul melalui Program Kemitraan maupun Bina Lingkungan, terlihat ada
kesamaan dengan program CSR atau TJSL perusahaan. Dampak tersebut
adalah adanya peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan komunitas
setempat yakni di wilayah di mana perusahaan atau BUMN berdomisili atau
menjalankan aktivitas operasionalnya.
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1)
Peraturan Menteri di atas mewajibkan BUMN untuk melaksanakan PKBL, dan
keberhasilan pelaksanaan PKBL ini menjadi salah satu indikator
penilaian tingkat kesehatan BUMN yang bersangkutan. Melalui PKBL,
Pemerintah menginginkan terjadi peningkatan partisipasi BUMN dalam
upaya Pemerintah untuk memberdayakan dan memperkuat potensi
perekonomian rakyat, khususnya unit-unit usaha mikro dan usaha kecil,
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas dan menciptakan
pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Terdapat sedikit perbedaan antara PKBL
dengan CSR atau TJSL perusahaan, yakni (a) biaya untuk TJSL
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran; sementara biaya untuk PKBL
diambil dari laba bersih yang diperoleh BUMN, masing-masing maksimal
sebesar 2% untuk Program Kemitraan dan untuk Program Bina Lingkungan
(b) lokasi bagi perseroan yang melaksanakan TJSL adalah terbatas di
lingkungan dan/atau komunitas masyarakat setempat di mana perseroan
berdomisili atau menjalankan aktivitas operasionalnya; sedangkan lokasi
PKBL bagi BUMN lebih luas, yaitu seluruh wilayah Indonesia, tidak
terbatas hanya pada domisili BUMN.
Kini, perlu diperhatikan korelasi
antara kewajiban TJSL perseroan yang bersumber pada UU PT dengan
kewajiban PKBL bagi BUMN yang bersumber dari UU tentang BUMN dan
Peraturan Menteri Negera BUMN tersebut di atas. Terlihat bahwa dengan
berlakunya UU PT, maka Pasal 74 UU itu semakin memperkuat kewajiban
melaksanakan PKBL oleh BUMN, khususnya yang bergerak di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam. Persoalannya sekarang adalah bila
menurut UU PT, sebuah BUMN yang bergerak di bidang sumber daya alam dan
berbentuk badan hukum perseroan harus melakukan TJSL; tetapi di sisi
lain sebagai sebuah BUMN juga terikat kewajiban untuk melakukan PKBL.
Bagaimana mengkoordinasi dan mengharmonisasi kedua hal ini? Apakah bagi
BUMN tersebut cukup diberlakukan Peraturan Menteri Negara BUMN tentang
PKBL saja, dengan alasan peraturan hukum ini bersifat khusus atau lex specialis
katimbang UU PT? Ataukah BUMN tersebut tetap tunduk pada UU PT
mengingat peraturan ini bentuk formalnya adalah sebuah UU, yang pasti
secara hirarki lebih tinggi daripada Peraturan Menteri? Ketentuan hukum
mana saja yang dianggap paling tepat untuk diberlakukan bagi BUMN,
tetap saja belum memecahkan seluruh persoalan. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan tentang sumber dana untuk aktivitas TJSL perusahaan
dan untuk PKBL. Biaya untuk TJSL harus bersumber dari anggaran
perseroan, sementara dana untuk PKBL diambilkan dari laba bersih BUMN.
Artinya, bila BUMN tidak berhasil memperoleh laba maka program PKBL nya
tak berjalan, sebaliknya TJSL tetap harus berjalan karena telah
dianggarkan sebelumnya. Pada akhirnya, terkesan bahwa BUMN seperti
dikenai 2 (dua) kewajiban secara bersamaan yang substansi dan tujuannya
kurang lebih sama yaitu menjalankan PKBL dan TJSL.
Persoalan lain yang layak dikaji lebih
lanjut adalah soal sanksi hukum. Pada PKBL, peraturan menteri di atas
tidak mengatur sama sekali perihal sanksi bagi BUMN yang tidak mematuhi
kewajiban itu. Hanya disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) bahwa
keberhasilan pelaksanaan PKBL menjadi indikator penilaian tingkat
kesehatan BUMN yang bersangkutan. Jadi rumusan pasal ini bukan berisi
tentang sanksi. Sementara Pasal 74 ayat (3) UU PT seperti telah dibahas
di atas, merujuk pada UU terkait atau UU sektoral (dalam konteks ini
tentunya adalah perundang-undangan tentang PKBL) ketika berbicara soal
sanksi.
Simpulan sementara hingga poin ini
adalah bahwa perlu penataan yang tepat antara kewajiban melakukan TJSL
dan PKBL bagi perusahaan yang merupakan BUMN, agar tidak terjadi
duplikasi yang dapat menimbulkan penafsiran berbeda-beda dan membebani
BUMN. Kecuali itu, harmonisasi, koordinasi dan sinkronisasi peraturan
hukum seputar TJSL dan PKBL juga diperlukan agar tujuan utama yaitu
meminta pertanggung-jawaban sosial perusahaan untuk turut serta
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat luas dapat
tercapai secara adil, efektif, dan efisien.
G. Kesimpulan
Apabila Pemerintah hendak
menindak-lanjuti perintah Pasal 74 ayat (4) UU PT untuk membuat
peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur tentang TJSL, maka
setidaknya ada 4 (empat) persoalan krusial yang perlu dikaji lebih
mendalam. Ketiga persoalan itu adalah: (a) batasan tentang perseroan
yang terkena kewajiban melaksanakan TJSL, khususnya tentang frasa
‘perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber
daya alam, atau yang usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber
daya alam’ (b) harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan perUUan
yang juga mengatur substansi yang berkaitan dengan TJSL, khususnya
menyangkut ketentuan tentang sanksi hukum (c) pertimbangan penerapan
sistem punish and rewards terhadap perseroan yang melawan
atau mematuhi kewajiban hukum melakukan TJSL, dengan sedapat mungkin
tidak menjatuhkan sanksi berupa pidana melainkan penghapusan atau
pengurangan insentif dan sebaliknya (d) harmonisasi dan sinkronisasi
antara kewajiban TJSL perusahaan dengan PKBL bagi perusahaan yang
berupa BUMN.
Peraturan pemerintah sebagaimana
dimaksud oleh pasal 74 ayat (4) UU PT memang diperlukan untuk lebih
memberi kepastian hukum bagi para pelaku usaha khususnya badan-badan
usaha, baik yang berupa usaha kecil, menengah, besar, ataupun badan
usaha yang modalnya berupa modal domestik maupun asing, dan juga bagi
BUMN. Kecuali itu, peraturan pemerintah tersebut juga dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya pengaturan tentang pelaksanaan TJSL perusahaan
secara sepihak dan berbeda-beda pada aras daerah melalui peraturan
daerah. Apabila peraturan hukum tentang TJSL perusahaan ini dibiarkan tersebar
di mana-mana dan pada aras yang berbeda-beda, dikhawatirkan justru akan
mengakibatkan pelaksanaan TJSL perusahaan yang tidak efektif, tidak
sesuai dengan strategi bisnis masing-masing perusahaan, yang pada
akhirnya justru membebani pelaku usaha sendiri.
Tentunya selain mengatur keempat
persoalan di atas, peraturan pemerintah tersebut juga seyogianya
mengatur secara cukup rinci berbagai jenis atau bentuk program TJSL
yang dapat dipilih oleh perusahaan, batasan lokasi wilayah di mana
perusahaan boleh melakukan program TJSL, koordinasi di lapangan antara
perusahaan dengan pemerintah daerah setempat, sistem pelaporan kegiatan
TJSL, dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Business for Social Responsibility, (2001). “BSR Issue Briefs: Ethics Codes/Values”. Diakses dari http://www.bsr.org
Council of the Bars and Law Societies of the European Union, “Corporate
Social Responsibility and The Role of the Legal Profession: A Guide for
European Lawyers Advising on Corporate Social Responsibility Issues”. September 2003.
Mahkamah Konstitusi, Putusan No 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.
Organisasi.Org Komunitas & Perpustakaan Online Indo, “Pengertian Sumber Daya Alam dan Pembagiannya”. Diakses dari http://www.organisasi.org., tanggal 17 Juni 2009.
Porter, Michel E., dan Kramer, Mark R., “Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility”. Harvard Business Review Collection, 2007.
United Natons, “The Global Compact: Advancing Corporate Citizenship in the World Economy” (2001).
World Business Council for Sustainable Development, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar